Dana umat, kembali menjadi dana untuk bangunan. Bukan untuk umat.
Sementara itu, masalah sosial di luar pagar masjid terus menumpuk. Anak-anak tidak bisa melanjutkan sekolah. Lansia tidak mampu membeli obat. Pedagang kecil gulung tikar. Ibu-ibu menunggak cicilan. Tapi di sisi lain, tak sedikit masjid berdiri megah dengan arsitektur menawan. Pendingin ruangan menyala, marmer berkilau, kubah menjulang tinggi. Bahkan rekeningnya miliaran.
Masjidnya makmur. Umatnya tidak.
Apakah itu yang kita maksud dengan "masjid makmur memakmurkan"? Atau jangan-jangan yang makmur hanya rekening masjidnya, bukan warga di sekitarnya?
Kesenjangan ini makin jelas ketika kita melihat perbedaan antar masjid. Ada masjid besar di kawasan elit dengan saldo melimpah, jamaahnya para profesional dan pengusaha. Tapi hanya beberapa ratus meter dari sana, ada masjid kecil dengan listrik menunggak, marbotnya tidak digaji, dan infaknya recehan. Jamaahnya orang-orang kecil yang berjuang hidup hari demi hari.
Pertanyaan pentingnya: kenapa dua dunia ini tidak saling menyapa? Mengapa masjid besar tidak membantu masjid kecil? Mengapa pengurus yang mapan tidak membina yang masih tertatih? Apakah kita terlalu sibuk menghitung saldo sampai lupa menghitung pahala?
Bayangkan jika setiap masjid mau bergerak. Indonesia memiliki lebih dari 800 ribu masjid. Kalau setiap masjid membantu hanya lima keluarga miskin di lingkungannya --- soal pendidikan, kesehatan, atau usaha kecil --- maka akan ada empat juta keluarga yang terbantu setiap tahun. Empat juta! Tanpa APBN. Tanpa birokrasi. Tanpa proposal.
Kalau setiap masjid besar membina sepuluh masjid kecil, maka akan ada puluhan ribu masjid yang naik kelas: dari sekadar tempat salat menjadi pusat pemberdayaan masyarakat. Kalau setiap masjid menyisihkan 30 persen infaknya untuk program sosial, akan ada triliunan rupiah yang berputar di tengah masyarakat. Triliunan --- bukan di rekening tidur, tapi di dapur rakyat kecil.
Dulu, masjid adalah pusat kehidupan umat. Di masjid Rasulullah membangun masyarakat Madinah. Dari sana lahir pendidikan. Dari sana dirancang strategi sosial dan politik. Dari sana diberi bantuan bagi fakir miskin dan janda. Dari sana tumbuh ilmu dan peradaban.
Kini peran itu perlahan menguap. Masjid hanya menjadi tempat salat. Kadang tempat pengajian. Kadang tempat peringatan Maulid atau Isra Mi'raj. Tempat solusi? Hampir tidak.
Padahal potensi itu masih ada. Bahkan lebih besar dari sebelumnya. Masjid punya jamaah. Punya dana. Punya jaringan. Yang kurang hanya satu: visi.