Mohon tunggu...
Alfitriandes Miter
Alfitriandes Miter Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Suka mencoba sesuatu yg kira-kira berguna. Selama ini hanya membaca, membaca dan ... membaca. Ngga tau juga apakah ini waktunya menulis, coba dulu aja. Siapa tau b.e.r.g.u.n.a.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kids On The Street: Nurhikmah, Terimakasih Atas Pelajaran Hari Ini

5 Mei 2010   18:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melihat atau bertemu anak-anak bawah umur di jalanan jadi pengemis atau peminta-minta, bukanlah merupakan hal yang baru atau suatu pemandangan yang janggal. Apalagi di kota besar semetropolis seperti Jakarta. Hampir disetiap sudut jalan, lampu merah perempatan, jembatan penyemberangan, angkutan umum apalagi terminal bus, selalu saja terlihat satu dua bahkan beberapa anak yang sedang memelas kasih orang lain.

Dilain sisi, bukan hal yang aneh pula jika melihat orang-orang kota yang acuh tak acuh, cuek bahkan mencibir kepada anak-anak pengemis jalanan ini. Boro-boro merogoh kocek mencari koin untuk diberikan kepada si anak, tak jarang si orang kota malah membuang muka. Sedikit sekali bahkan hampir tak ada yang mau memberi, Itulah salah satu fenomena hidup di kota seperti Jakarta. Secara penulis juga bagian dari warga Jakarta.

Pagi itu, Senin (3/5), kaki ini sedang mengayun langkah di atas JPO alias jembatan penyeberangan orang di depan SMK 57, Jaksel. Seperti biasa, bertemu anak bawah umur sedang meminta-meminta. Seperti biasa pula, lewat begitu saja. Tapi kali ini, pikiran ini kok mikirin anak kecil itu? 3, 4, 5 langkah berlalu.

Lho, apa-apaan ini, kok tiba-tiba kaki ini berhenti? Sungguh ini pengalaman pertama dan terasa luar biasa. Entah kekuatan mana, entah energi apa yang telah menghentikan dan membalikan badan ini, yang pasti langkah kaki kembali mendekati anak perempuan kecil itu. Jujur, memang tiba-tiba waktu itu jadi ingat kompasiana.

Ia duduk di lantai sambil menyenderkan badannya pada tiang-tiang jembatan. Kedua tangannya terjulur kedepan ditopang oleh kedua lututnya yang berdiri. Tangan kanannya memegang sebuah gelas plastik bekas kemasan air minum mineral. Di dalam gelas itu terlihat beberapa buah koin, entah hasil perolehan pagi ini atau uangnya sendiri yang sengaja diletakam sebagai “pancingan”. Rambutnya terlihat bergelombang kesana-kemari, entah memang aslinya keriting atau justeru awur-awur karena tak pernah diurus. Beberapa bagian jatuh bergulung didepan wajahnya yang mengkilat mengganggu pandangan matanya yang tak dapat dinarasikan entah bermakna entah tidak.

“Maaf dek, namamu siapa ?”

“Nu...”, (terdengar seperti Nung…, Nul.., apa Nur)

“Siapa ?”

“Nur. Nurhikmah”.

“Oh, Nur ! Nur ngga sekolah ?..., Kelas berapa ?”

“Sekolah. Kelas 4”

“Masuk jam berapa ?”

“Siang, jam 12”.

“Rumahnya di mana ?”

Cilebut !”

Haah !?, “Cilebut, Bogor ?!?”, Nur menganggukan kepalanya dua kali. Bersamaan lewat seorang pejalan kaki dan menjatuh coin ke dalam gelas plastik yang dipeganng Nur, “Ma kasih Om…, Alhamdulillah…”, suara Nur nyaris tak terdengar.

“Terus ntar Nur pulang jam berapa ? … naik apa ? Emang kesini tadi jam berapa ?”

“Berangkatnya tadi jam 5 Om, ntar pulang jam 10, naik kereta”.

“Tiap hari begitu ? Nongkrong di sini udah lama ya ? Sejak kapan ?”

“Tauk deh Om, udah lama. Lebih setahun kali”.

“Ke sini tiap hari sama siapa ? Ada yang ngantar ya ?”

“Ngga ada, ke sini sendiri.”

“Haah ? emang berani ? Bapaknya kemana ?”

“Berani, udah biasa. Bapak Nur kerja mulung gelas aqua. Bapak tiri sih, kalo ibu kandung”.

“Eh, Nur Om photo boleh ya ? Nggak apa-apa kok”.

Nur diam saja, lalu…,”jpreet..!! jepreet !!”

Huff ..!! Wow !! Oh, ternyata begini ya, wawancara. Pengalaman pertama ini harus di tuliskan.

Ternyata pula, tidak semua anak jalanan itu di kelola oleh seseorang yang sering diberitakan menerima setoran dari anak-anak yang di “asuhnya”. Nurhikmah telah membuktikannya dengan jawaban-jawabannya yang polos, lugas, apa adanya. Tak sekalipun Nur kebingungan atau ah-eh-oh seperti orang mencari-cari jawaban pada setiap pertanyaan. Tak sedikitpun terlihat tanda-tanda ia berbohong dalam jawabannya.

“Terimakasih Nur, kamu telah memberi pengalaman berharga hari ini”.

Nurhikmah, anak jalanan, pengemis, menjadi orang pertama yang kuwawancarai dalam sekolah gratis tulis-menulis di kampus kompasiana ini.

Salam kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun