Mohon tunggu...
Almira Ramada
Almira Ramada Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at Padjadjaran University

I explore, learn, and share.

Selanjutnya

Tutup

Music

Personalisasi Musik Itu Menyenangkan, tapi Apakah Adil bagi Setiap Musisi?

5 Januari 2023   14:40 Diperbarui: 5 Januari 2023   15:36 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan halaman 2022 Wrapped pada situs resmi Spotify. (Foto: Spotify.com)

Belum lama ini, media sosial kembali diramaikan dengan kemunculan edisi 2022 dari #SpotifyWrapped. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Spotify kembali merangkum riwayat mendengarkan musik penggunanya, berdasarkan pola penggunaan aplikasi Spotify mereka sejak awal tahun. Memperoleh antusias yang tinggi, rangkuman yang dapat diakses pada halaman utama aplikasi Spotify itu masih ramai dibicarakan di berbagai media sosial, hingga beberapa hari setelah perilisannya.

Dalam laporan singkat nan aesthetic itu, Spotify menyajikan setiap penggunanya dengan informasi terkait jumlah lagu, musisi, dan genre musik yang mereka dengarkan dalam setahun. Bersama dengan itu, mereka juga menampilkan lima peringkat teratas dari masing-masing kategori tersebut. Agar para penggunanya dapat "bernostalgia" dengan lagu-lagu pilihannya dalam setahun terakhir, Spotify pun menuangkan data yang mereka kumpulkan ke dalam playlist "Your Top Songs 2022".

Seakan belum puas membuat para penggunanya terkesan, Spotify bahkan mengelompokkan mereka ke dalam 16 tipe kepribadian berdasarkan kebiasaan mereka dalam mendengarkan musik. Layaknya Myers-Briggs Type Indicator (MBTI), tiap-tiap tipe kepribadiannya didasarkan pada empat huruf. Dalam hasil #SpotifyWrapped tahun 2022, saya sendiri digolongkan sebagai "ENLU" yang---menurut Spotify---artinya Exploration, Newness, Loyalty, Uniqueness.

Dari fenomena ini, terlihat bahwa Spotify berdedikasi besar dalam melakukan personalisasi. Demi menunjang akurasinya, Spotify bahkan mengakuisisi sebuah perusahaan analitika bernama Echo Nest pada 2014 (Prey, 2016). Hasil analisis datanya lalu diterapkan pada sistem rekomendasi lagu melalui fitur shuffle, serta penyusunan berbagai playlist yang disesuaikan dengan minat tiap-tiap penggunanya dalam bidang musik.

Dilihat dari tagar #SpotifyWrapped yang sempat beberapa kali menduduki peringkat pertama pada trending topics Twitter di Indonesia, antusias para pengguna terhadap fitur-fitur penunjang personalisasi tampak sama besarnya dengan dedikasi Spotify. Dengan para musisi yang turut mengunggah rekapan #SpotifyWrapped versi mereka sebagai "artist" hingga mengirimkan pesan video bagi para penggemarnya di Spotify, kemunculan rangkuman ini pun makin meriah.

Namun, di balik ini semua, terdapat musisi-musisi yang namanya tidak banyak muncul dalam rekapan #SpotifyWrapped para pengguna. Mereka adalah musisi yang menjadi korban algoritma platform ini. Demi tersajikannya musik yang (berpotensi) sesuai dengan minat setiap pendengar, algoritma yang Spotify gunakan secara otomatis mengesampingkan para musisi yang dianggapnya tidak sesuai.

Hal ini diperparah dengan adanya feedback loop atau 'lingkaran umpan balik' dalam sistem rekomendasi platform streaming musik. Menurut konsep ini, algoritma merekomendasikan musik berdasarkan perilaku pengguna. Jika pengguna mengikuti rekomendasi yang ditawarkan kepadanya, secara tidak langsung, ia berkontribusi terhadap pembentukan algoritma yang didasarkan pada perilakunya. Alhasil, terbentuklah suatu siklus tanpa akhir.

Dampaknya, secara tidak langsung, musisi yang populer menjadi makin populer. Di sisi lain, musisi yang karyanya tidak banyak didengarkan khalayak menjadi makin tersembunyi. Mereka terhalang oleh algoritma yang memutuskan bahwa musik mereka tidak cocok untuk direkomendasikan kepada khalayak yang lebih luas.

Masalah yang ditimbulkan dari bias algoritma ini bahkan merambat ke ranah gender. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ferraro, Serra, dan Bauer (2021), karya musisi laki-laki cenderung lebih sering direkomendasikan ketimbang karya musisi perempuan. Dengan begitu, kesempatan musisi perempuan untuk meraih audiens potensial menjadi lebih kecil.

Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa sesungguhnya, kesetaraan antara musisi laki-laki dan perempuan dapat tercapai dalam jangka panjang apabila karya musisi perempuan lebih sering direkomendasikan. Oleh sebab itu, Spotify (dan platform streaming musik lainnya dengan permasalahan yang sama) perlu mulai membenahi sistem rekomendasinya untuk mengatasi masalah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun