Mohon tunggu...
Almawa Maritza Syahbaini
Almawa Maritza Syahbaini Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA

Murid dengan aspirasi peneliti

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rahasia Kerukunan Antar Agama dan Budaya di Desa Buntu, Wonosobo

26 Maret 2024   09:02 Diperbarui: 1 April 2024   10:17 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Local Immersion Global Prestasi School ke Desa Buntu, Wonosobo

Pada hari Minggu, 3 Maret 2024, semua murid kelas X (10) Global Prestasi School menaiki bus untuk berwisata ke Desa Buntu, Wonosobo untuk kegiatan Local Immersion. Semua murid akan tinggal di kota tersebut selama 3 - 4 hari. Dalam kegiatan ini, para peserta diberi kesempatan untuk mengamati kebudayaan, melakukan kegiatan, dan menikmati pemandangan asri Dieng. 

Jika anda mencari informasi tentang Desa Buntu di Google, hal yang paling dikenal tentang Wonosobo adalah keberagaman agama mereka. Desa Buntu memiliki lima agama yang hidup rukun. Pertama kali para peserta menginjak kaki disana, peserta disapa dengan pawai yang diadakan beberapa tahun sekali sebelum datangnya bulan Ramadhan. Pawai tersebut termasuk sebagai contoh keberagaman dan kerukunan warga disana. Pawai itu merupakan sebuah perayaan penyelesaian 'iqro, begitu pula barongsai (dipersembahkan oleh warga beragama Buddha), dan yang memimpin merupakan beragam agama. 

Jarang penulis melihat solidaritas ini di kota besar. Di kota yang sering dianggap sebagai lebih maju dari kehidupan di desa, malah lebih buruk dalam hal kerukunan. Bahkan, anda mungkin akan menemukan lebih banyak diskriminasi daripada toleransi di kota, di internet maupun dunia nyata. Hal itu diputar 360 derajat di Desa Buntu.

Lantas, apakah diskriminasi antar golongan (terutama dalam hal budaya dan agama) hanya simptom dari kota - kota besar? Apa rahasia kerukunan warga Desa Buntu?

Secara singkat, menurut Paulus Wirutomo, kerukunan merupakan upaya mempersatukan makhluk sosial dengan rasa kenyamanan dan ketentraman. Dalam artikel ini, penulis akan membahas upaya yang dibutuhkan untuk membuat masyarakat yang rukun dengan wawancara dari warga desa sendiri. 

Menurut saksi Bapak Sudarti, 43, Penduduk Desa Buntu, jarang terjadi konflik antar golongan. Bahkan jika terjadi sebuah konflik, hal tersebut akan diselesaikan dalam waktu 2 - 3 hari. Saat ditanya, darimana timbul rasa kerukunan di masyarakat Desa Buntu? Pak Sudarti menjawab bahwa "...[berasal] dari Nenek Moyang." Dalam arti bahwa hal ini sudah lama diterapkan dalam masyarakat.

Sebelum menarik konklusi, penulis mencari opini kedua dari penduduk lain, yaitu Ibu Indriani. Ia merupakan seorang Wiraswasta berumur 22 tahun. Menurutnya, kerukunan ini berasal dari latar belakang yang sama dalam masyarakat. "Sebelum munculnya agama [yang dominasi masyarakat], adat Jawalah yang sering diterapkan." kata Ibu Indriani. Menurut teorinya, adat Jawa yang terkenal sopan itu, merupakan pengaruh besar dalam sikap toleransi masyarakat di Desa Buntu. Dengan begitu, mungkin kita bisa ambil bahwa sikap sopan juga mempengaruhi kerukunan mereka.

Teori Ibu Indriani mirip dengan gagasan lembaga sosial Peter L. Berger yang mengatakan bahwa perbuatan manusia dapat ditekan dan dipaksa untuk berubah sesuai keinginan masyarakat. Kita bisa simpulkan dari semua teori yang disebutkan sebelumnya bahwa rahasia kerukunan Desa Buntu adalah sosialisasi dan kemauan untuk toleransi. Jika kita mempunyai keinginan untuk menjadi masyarakat yang rukun, maka kita harus mengubah cara kita berinteraksi dengan orang yang berbeda golongan di kota besar maupun di desa kecil.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun