Mohon tunggu...
Ali Yasin
Ali Yasin Mohon Tunggu... profesional -

Peminat perubahan sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Simpang Jalan Fasilitator Pasca UU Desa

26 September 2014   22:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:22 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah poster yang pernah kulihat bertuliskan “Fasilitator juga manusia”. Mungkin kalimat ini biasa-biasa saja, namun bagi saya beda. Cerita ini saya hubungkan dengan perasaan pilu pada akhir tahun 2013 lalu. Pada tanggal 3 desember ketika itu, seorang Fasilitator kabupaten Bekasi PNPM Mandiri Perdesaan Jawa Barat berinisial Rr mengalami kecelakaan tragis di tol purbaleunyi. Peristiwa ini mengharuskannya dirawat Ruang ICU RS Hasan Sadikin.

Dalam kondisi koma, keluarga berharap ada keajaiban. Namun malang tak dapat ditolak. Pada bulan Januari 2014 lalu nyawanya tak tertolong. Saat bertemu istri almarhum, saya masih terngiang kalimat yang terucap. “apa ada tali asih atau uang pensiun untuk almarhum pak?”. Meski polos pertanyaan ini terus menggelitik sampai sekarang. Faktanya memang masih jadi pertanyaan yang belum terjawab.

Bagi seorang istri, yang menghandalkan nafkah dari suami, tentu dihadapkan bingung manakala suami meninggal. Apalagi biaya perawatan selama di ruang ICU mencapai Rp.100. Siapa yang menanggung ? tentu bukan dari program PNPM tempat alm Rr bekerja. Akhirnya terkuat berita bahwa selain mencari hutang sana-sini, keluarga juga menjual rumah.

Mobil yang dikendarai almarhum sampai saat ini tak terbentuk alias rusak parah. Kondisinya masih mangkrak di pos polisi di gerbang tol Ciganea- purwakarta. Entahlah yang pasti cerita kecelakaan maut yang merenggut nyawa alm Rr menjadi catatan pilu profesi fasilitator. Sebab kondisi ketika itu Alm  sedang dalam perjalanan menuju lokasi tugas. Berdasar data HRD, Alm telah lebih dari 10 tahun mengabdikan hidupnya sebagai fasilitator di PNPM Mandiri Perdesaan.

Beberapa saaat sebelumnya, seorang Fasilitator keuangan di PNPM mandiri perdesaan kab Tasikmalaya bernisial Ah juga meninggal. Alm yang dikenal tekun bekerja, meninggal di pagi hari sekitar pukul 09.45. Ketika itu almarhum sedang rapat bersama teman satu timnya. Namun, tubuhnya tiba-tiba terjatuh ke belakang disertai darah keluar dari mulut. Saat dibawa ke rumah sakit nyawanya tak tertolong. Mendengar kabar itu istri dan anaknya terpukul

Gurat galau dan perasaan tertekan begitu tampak saat kolega melayat ke rumah duka. Air mata sang istri yang menetes tiada henti, seakan menyiratkan pertanyaan, apa yang bisa diberikan program setelah suamimnya meninggal saat menjalankan tugas?. Padahal alm meninggalkan dua anak yang masih kecil.

Dua kisah kematian fasilitator ini sempat menjadi hot issue walau akhirnya hilang lagi. Diantaranya menyangkut bentuk penghargaan yang diberikan program. Yang jelas keduanya tidak mendapatkan tali asihatau uang pensiun serupiahpun. Karena itu, kematiannya menjadi catatan kritis tentang jaminan kelangsungan hidup profesifasilitator.

Tak hanya di PNPM Mandiri, di program lain juga terdapat profesi fasilitator. Berbasis kontrak kerja tahunan (itupun selama program masih ada) maka nasib fasilitator ibarat diujung tanduk. Jika seiring pelaksanaan UU Desa diberitakan bahwa PNPM Mandiri Perdesaan akan dihapus, berarti puluhan ribu fasilitator di 33 provinsi yang menjadi lokasi akan off alias menganggur.

Sesungguhnya tak jadi masalah. Toh ada awal ada akhir. Resiko hidup juga menjadi tanggungan fasilitator itu sendiri. Mengapa dulu memilih profesi ini tentu dengan perhitungan resiko yang diketahui. Tak ada jaminan alias putus kontrak sewaktu-waktu kan sudah biasa.

Namun, pertanyaan diatas harus dihubungkan dengan kondisi hidup fasilitator yang tak lagi idealSebagian besar mereka tak lagi berusia muda. Rata-rata berusia diatas 45 tahun. Tentu bukan usia yang mudah untuk melamar atau mencari kerja. Meski berbekal pengalaman, namun jika terhalang usia tentu tidak bisa. Kalah dengan fresh graduate. Lantas, akan dikemanakan pengalaman dan ilmu yang telah dimiliki jika akhirnya tidak digunakan lagi oleh program? Menjadi pertanyaan yang tak mudah dijawab.

Kita tak berdebat suatu kewajaran atau apa yang seharusnya ada. Meskipun UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, namun sebagian fasilitator sadar bahwa kondisi Negara dalam kondisi deficit anggaran. Tentu sulit menerapkan secara ideal UU No.5/2015 tentang ASN (Aparatur Sipil Negara) yang memberi peluang PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).

Hanya saja, pemerintah tidak boleh menutup mata atas kondisi yang kurang manusiawi ini. Tidak berarti “habis manis sepah dibuang”, tetapi jika profesi tidak menjadi terlindungi maka pemerintah bisa disebut membiarkan anak bangsanya dalam kehidupan yang tidak jelas. Pointnya adalah bagaimana cara agar pemerintah membuat skema penjaminan fasilitator berhak menikmati perlindungan di hari tua.

Arahnya bukan penyediaan uang pensiun, tetapi kebijakan yang memastikan fasilitator terhargai manakala ia tak lagi bekerja entah karena program selesai atau karena kematian seperti cerita diatas tadi. Meskipun minimalis, tapi adanya penghargaan menjadi tanda bahwa pemerintah peduli terhadap profesi anak bangsanya.

Lucu juga jika pemerintah membiarkan puluhan ribu fasilitator yang sudah berumur dalam kondisi kebingunan finasial. Ambil contoh dalam peristiwa diatas, manakalah keluarga justru menanggung beban terhadap resiko pekerjaan yang dijalani oleh salah seorang anggotanya yang menjadi fasilitator, tentu terkesan tidak adil.

Semoga pemerintah berpikir cepat terhadap keadaan ini. DPR atau wakil rakyat yang baru mendapat amanah dalam pemilu kemarin semoga juga peka. Sebagaimana disebut oleh Hasan Bisri, anggota BPK RI, Negara ini deficit anggaran karena banyaknya perjalanan dinas luar negeri, pemekaran daerah, serta rapat-rapat di hotel yang digelar oleh instansi pemerintah.

Apabila pemerintah yang akan dilantik mampu mengefisiensikan anggaran tentu bukan tidak mungkin penghapusan tenaga kontrak ataupun honorer sebagaimana disandang oleh fasilitator pelan tapi pasti akan terhapus. Tapi semua ini tergantung nyali dan komitmen pemerintah Jokow-JK. Kata orang bijak banyak jalan menuju Roma, tetapi kala akhirnya hanya mementingkan diri sendiri tentu jalan tersebut tersisa satu, atau bisa-bisa tidak ada jalan.

Alhasil Fasilitator sampai saat ini tetap menjadi profesi tanpa kejelasan masa depan. Juga tanpa keteraturan penjaminan hidup khususnya kesehatan dan pendidikan keluarganya. Jika yang terjadi adalah pemiskinan hidup Fasilitator (karena tidak adanya kebijakan yang memproteksi sedang mereka bekerja untuk memerangi kemiskinan) maka pemerintah dipertanyakan kebijakan pro-rakyatnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun