Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

KKN: Sekadar Syarat Kuliah?

3 September 2014   16:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:44 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepuluh mahasiswa Undut yang sedang melaksanakan KKN di Cibangkonol ramai-ramai mengunjungi rumah Kabayan. Dan itu membuat Nyi Iteung sibuk menyediakan suguhan, ia menggoreng singkong dan membuat teh hangat. Kebetulan Mang Odon, tetangga Kabayan juga sedang numpang ngopi di rumahnya, jadilah ia pun ikut menemani Kabayan menemui para mahasiswa itu. “Adik-adik teh ada apa, kok ramai-ramai menemui saya?” tanya Kabayan yang mendadak merasa jadi kayak pejabat desa, gara-gara dikunjungi mahasiswa sebanyak itu.

“Begini Pak Kebayan...” kata Barnabas, mahasiswa asal Papua yang dipercaya menjadi ketua kelompok, “Saya bersama teman-teman, sengaja bertemu dengan Pak Kebayan atas saran Pak Kades. Beberapa kali, kami membuat acara di balai desa, seperti penyuluhan, seminar, dan lain-lain, tapi tidak banyak warga yang datang, padahal kami sudah sebar undangan. Nah, Pak Kades bilang, kami disuruh konsultasi sama Pak Kebayan supaya acara kami itu banyak didatangi warga...” lanjutnya.

Kabayan bingung, melirik Mang Odon, lalu kembali pada Barnabas, “Kenapa harus bertanya pada saya?” tanya Kabayan. “Begini Pak Kabayan,” Hamid, mahasiswa asal Sulawesi menimpali, “Kata Pak Kades, Pak Kabayan ini sangat mengerti warga di sini, jadi kami bisa bertanya, kenapa warga tidak tertarik untuk menghadiri acara kami, padahal acara kami itu penting buat warga...” lanjutnya.

Kabayan garuk-garuk kepala, “Kemarin sudah bikin acara apa saja memangnya?” tanya Kabayan. “Kami sudah bikin tiga acara di bala desa Pak, penyuluhan sanitasi, seminar manajemen ekonomi keluarga, sama media literasi...” jawab Nisa, mahasiswi dari Jogja.

“Sanitasi sama literasi itu apa Yan?” tanya Mang Odon sambil melirik Kabayan. Kabayan bengong, “Ya tanya aja sama mahasiswa ini Mang, kan mereka yang bikin acara....” katanya.

“Sanitasi itu kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan air, kalau media literasi itu soal kemampuan kita mengkritisi media, supaya kita lebih cerdas dalam mengkonsumsi konten media dan tidak menjadi korban media...” kata Nisa lagi. Mang Odon bengong, “Gagal paham saya mah Neng...” katanya.

“Nah ini...” kata Kabayan. “Sudah nyebar undangan acara?” tanya Kabayan pada Nisa dkk. Barnabas mengangguk. “Mang Odon sudah pernah terima undangan?” tanyanya pada Mang Odon yang dijawab anggukan. “Kenapa Mang Odon nggak ikut?” tanya Kabayan lagi. “Waktu terima undangan soal sanitsi itu, yang terima kan istri saya. Dia bilang, pasti itu salah ketik, bukan sanitasi, tapi seni tari, makanya kita nggak ikut. Lah masak orang tua disuruh ikut seni tari, buat berdiri aja kaki sudah pada gemeteran! Terus, waktu terima undangan yang literasi itu, saya yang males ikut, saya kira teh acara penyuluhan memanfaatkan koran bekas untuk membuat terasi. Kamu kan tau sendiri Yan, kalau saya suka gatel-gatel kalau habis makan udang...” jawab Mang Odon.

Kabayan mengangguk-angguk, “Nah, sudah punya bayangan, kenapa banyak warga yang tidak datang?” tanya Kabayan pada para mahasiswa itu. Nisa dkk mengangguk, “Bahasa kita ternyata ketinggian ya, jadi warga salah faham...” katanya.

Kabayan tersenyum, “Nah itu dia, Ujang-ujang dan Neng mahasiswa. Warga sini mah pendidikannya tidak tinggi, jadi jangan pake istilah-istilah yang susah. Akhirnya nggak pada ikut acaranya. Padahal kalau warga tau, mungkin mereka pada ikut kalau tau acaranya penting...” kata Kabayan.

“Tapi yang ekonomi keluarga juga sepi Pak Kabayan, padahal kan istilahnya gampang dimengerti...” Rasman, mahasiswa dari Lampung. Kabayan garuk-garuk kepala, “Kapan sih acaranya Jang, saya kok lupa?” tanyanya. “Senin pagi Pak...” jawab Rasman. “Oooh, pantesan nggak banyak yang ikut atuh.. di sini mah kalau mau bikin acara, ngumpuli warga, jangan pagi-pagi atuh, soalnya kalau pagi semua warga pada pergi ke sawah atau kebon, ngurusin tanamannya. Kalau mau ngumpulin warga ya sore hari setelah asar, atau sehabis magrib, pasti pada bisa...” kata Kabayan.

Para mahasiswa itu saling melirik, “Waah pantesan yang datang sedikit ya...” komentar Abu, mahasiswa dari Lombok, “Kirain warga di sini nggak terlalu suka sama kedatangan kami yang KKN di sini...” lanjutnya. Kabayan tersenyum, “Bukan begitu Jang. Warga sini pasti senang ada yang KKN, tapi ya itu, kalau bikin acara atau kegiatan baiknya yang tidak mengganggu kegiatan warga..” katanya. “Iya Pak, tadinya kami berpikir, warga sudah bosan dengan mahasiswa KKN...” kata Abu lagi, “Bahkan kami sempat berpikir ya sudah lah, nggak apa-apa warga nggak banyak ikut, asal bikin acara saja, yang penting KKN selesai dan kita pulang dapat nilai dari kampus...” lanjut Abu.

Kabayan tersenyum, “Saya tau, kalau KKN itu bagian dari kuliah, sudah banyak yang cerita sama saya sebelumnya. Tapi kalau menurut saya mah, tergantung pada yang KKN-nya. Apa mau sekadar dapat nilai, terus lulus jadi sarjana, atau belajar bermasyarakat. Kalau mau belajar bermasyarakat, ya harus mengerti bagaimana masyarakat yang dihadapinya. Kalau berhadapan dengan masyarakat petani, ya harus tau kebiasaan petani, kalau nelayan ya harus tau kebiasaan nelayan. Selain itu, ya harus paham adat istiadatnya...”

“Iya Pak, kita juga salah dalam bikin istilah program, ketinggian, jadinya warga nggak mengerti dan jadi nggak tertarik...” timpal Nisa lagi. “Nah itu bener Neng... kalau saja kemarin saya sama istri saya tau, mungkin kita juga ikut...” timpal Mang Odon.

“Bener tuh Jang, Neng... selain itu, program KKN juga harusnya melihat kebutuhan warga di sini. Misalnya soal literasi atau sanitasi tadi, apa memang diperlukan warga sini atau enggak. KKN tahun lalu ada program membuat nata de koko, warga ya nggak tertarik... mau tertarik gimana, di sini pohon kelapa aja nggak ada... jadi kan aneh kalau bikin program begitu...” lanjut Kabayan.

“Sekarang kami faham Pak, kenapa warga tidak banyak yang datang...” kata Barnabas lagi, “Terus, kalau menurut Bapak, kira-kira program apa yang cocok dan dibutuhkan warga di sini?” tanyanya. Kabayan melirik pada Mang Odon, “Apa Mang, ada saran?” tanyanya. Mang Odon menggeleng, “Gak tau atuh,saya kan nggak pernah KKN, SD aja dulu nggak tamat...” jawab Mang Odon.

“Kalau saya usul boleh nggak?” tiba-tiba Nyi Iteung nyeletuk dari belakang, semua mahasiswa KKN melirik. “Kamu mau usul apa Teung?” tanya Kabayan. “Begini, kalau dari inspirasi (maksudnya sih aspirasi) ibu-ibu, bagaimana kalau yang KKN membuat kegiatan basar sembako murah, basar BBM murah, penyuluhan pemanpaatan waktu luang buat bapak-bapak biar nggak cuma tiduran di saung sawah atau nongkrong di pos ronda, seminar pengentasan kemalasan suami, manajemen penghematan gula dan minyak buat ibu-ibu, penyuluhan pertanian padi supaya bisa panen minimal lima kali setahun, terus... apa lagi ya, kemarin sudah diomongin sama ibu-ibu...” kata Iteung sambil melihat-lihat kertas kecil yang dipegangnya.

Kabayan tersenyum, “Gimana, usulan dari ibu-ibu ada yang bisa diterima?” tanyanya pada para mahasiswa. Mahasiswa KKN saling melirik satu sama lain. “Waduh Pak, soal sembako murah sama BBM murah, jangankan kita yang masih mahasiswa, menteri dan presiden yang pinter-pinter juga pada nggak bisa....” kata Nisa, “Penyuluhan pertanian padi biar panen lima kali setahun, kita juga nggak bisa, menteri pertanian aja yang doktor juga nggak bisa sampai sekarang. Dan usulan lainnya juga susah, kita kan belum pada menikah jadi nggak ngerti soal begituan...” lanjutnya.

Mang Odon dan Kabayan saling melirik dan tersenyum, “Bener juga sih Neng, soal BBM, sembako, sama tani itu, pemerintah juga keliatannya bingung sendiri...” kata Kabayan, “Tapi kan yang namanya usul, boleh saja kan?” lanjutnya.

Para mahasiswa pun pamit, sedikit dapat pencerahan, tapi sisanya malah tambah gelap. “Ternyata KKN susah juga ya, gimana kalau ngurusin negara?” bisik Abu pada Hamid. “Yaa begitulah Bro... paling tidak, KKN mengajarkan kita, kalau ternyata masyarakat menghadapi banyak persoalan. Dan tugas kita adalah mencari cara pemecahannya sesuai dengan ilmu kita masing-masing..” jawab Hamid.

“Bagaimana kalau kita tanya dosen pembimbing kita?” tanya Barnabas. “Nggak usah, dosen kita juga pasti punya masalah sendri juga...” timpal Nisa, “Mendingan kita rapat dulu, nyari program sederhana tapi bermanfaat timbang bikin program yang tinggi dan masyarakat tidak terlalu membutuhkannya...” lanjutnya.

“Setuju...” kata Rasman, “Tapi apa?” tanyanya sambil melirik teman-temannya. Teman-temannya nggak ada yang berkomentar lagi, bingung sendiri-sendiri. “Bener kata Pak Kabayan, kita ini KKN mau sekadar nyari nilai atau beneran mau mengabdi ya.. dan nyari nilai kayaknya lebih gampang daripada beneran mengabdi...” kata Rasman lagi, karena teman-temannya nggak ada yang menanggapi.

Jogja, 3 September 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun