Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Sejarah di 29 Februari

29 Februari 2012   01:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:46 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak banyak yang tahu kalau Jang Kodir itu lahir tanggal 29 Pebruari, tanggal yang ‘apes’ buat orang yang hobi merayakan ulang tahunnya karena harus nunggu empat tahun sekali, kecuali kalau perayaannya numpang tanggal 28 atau tanggal 1 maret. Tapi juga tanggal yang asyik buat yang hobi ngeles dari todongan mentraktir teman-temannya. Hanya saja, karena sudah mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris desa –sebuah jabatan yang menjanjikan status sebagai Pegawai Negeri Sipil, sebuah status yang masih dianggap berharga dan bergengsi di kampungnya, Jang Kodir berbaik hati mentraktir tetangga-tetangganya yang kebetuln sedang ngopi di warung Bi Mimin. Kabayan kebetulan ada di situ, sedang sarapan gorengan dan sorabi oncom karena Nyi Iteung kebetulan belum pulang dari pasar subuh.

“Jadi ulang tahun nih Jang Ulis (Ulis, panggilan juru tulis atau sekretaris desa)?” tanya Kang Omat yang langsung menambahkan dua biji sorabi ke perutnya. Jang Kodir mengangguk, “Yaah begitu lah Kang, tapi nggak usah ribut-ribut dan nggak usah repot-repot ngasih kado, kebetulan saja saya inget dan saya lagi punya duit sedikit buat nraktir akang-akang semua...” jawab Jang Kodir setengah bercanda.

“Apa nggak bingung punya tanggal kelahiran yang tidak setiap tahun ada, Jang?” tanya Kang Omat lagi. Jang Kodir menggeleng, “Biasa aja Kang, malah kalo dipikir-pikir banyak enaknya juga, segala sesuatunya gampang diingat karena nggak tiap tahun ada,” jawab Jang Kodir. “Sejak saya sudah bisa mengingat, ada beberapa kejadian yang bisa saya ingat bersamaan dengan ulang tahun saya. Tahun 2008, pas ulang tahun saya, saya diangkat jadi ulis. Waktu itu, pas nonton tipi, Dewan Keamanan PBB ngasih sanksi tambahan buat Iran sekaitan kasus nuklirnya. Empat tahun ke belakangnya, Presiden Haiti Aristide dipaksa berhenti jadi presiden dan ngungsi ke luar negeri karena didesak Amerika...” sambung Jang Kodir. “Jauh ke belakang, tahun 40 ada orang Afrika-Amerika pertama yang dapet Oscar, namanya Hattie McDaniel yang main di film Gone with the Wind...”

Yang lain manggut-manggut, kagum dengan ‘catatan sejarah’ Jang Kodir. “Kok bisa apal bener Jang?” tanya Kabayan. Jang Kodir melirik dan tersenyum, “Ya nyari di internet Kang, namanya juga orang kesepian, pengen nyari tau teman-temannya yang punya nasib sama...!” jawabnya. Kabayan dan yang lain mengangguk-angguk lagi. “Tapi kok catatan sejarahnya semuanya berhubungan dengan Amerika sih? Memangnya nggak ada kejadian lain selain di Amerika?” tanya Kabayan lagi.

Jang Kodir nyengir lalu menyeruput kopinya, “Orang sana kan rajin nyatet sejarahnya Kang, mau yang baik mau yang buruk. Yang baik dijadikan penyemangat untuk tambah maju, yang buruk dijadikan pelajaran supaya nggak terulang lagi...” jawab Jang Kodir. “Beda sama kita, catatan yang baik nggak punya, kalau ada kejadian buruk ditutup-tutupi karena malu. Jadi nggak pernah belajar banyak dari sejarah kita sendiri..” sambungnya.

“Tapi kayaknya, yang disebutkan Ujang tadi, selain ada hubungannya dengan Amerika, yang nggak baiknya masih terulang tuh... Amerika masih hobi ngurusin negara lain, ngasih sangsi (sanksi) buat Iran lah, ngusir Presiden Haiti lah, memangnya Haiti sama Iran itu negara bawahannya ya?” tanya Kabayan yang muncul lagi kritisnya.

Jang Kodir mesem, “Yaa namanya juga negara adikuasa Kang, kadang-kadang orang yang punya kekuasaan kan suka lupa, suka ikut campur urusan yang sebetulnya bukan urusannya. Tau sendiri lah, Amerika mah punya kepentingan dimana-mana, dan karena punya kekuasaan, termasuk di keamanan PBB, mereka harus mengamankan kepentingannya agar tidak terganggu. Mereka ikut campur nuklir Iran karena ketakutan, padahal mereka sendiri punya nuklir. Mereka ikut campur urusan Haiti karena takut konflik di negara tetangganya itu mengganggu kepentingan bisnisnya, apalagi Aristide diam-diam banyak menasionalisasi perusahaan asing yang ada di negaranya, termasuk punya Amerika, makanya mereka mendukung kudeta militer buat menggulingkan Aristide...”

“Berarti mereka juga punya kepentingan di sini dan sering ikutcampur urusan negara kita dong?” tanya Kabayan lagi. Jang Kodir mengangguk, “Diakui atau tidak, disadari atau tidak, ikutcampur mereka di sini juga banyak Kang. Konon mereka ikutcampur menggulingkan Soekarno yang dinilai pro-Soviet dan anti-barat, makanya waktu Pak Harto jadi presiden kepentingan mereka di sini aman terlindungi. Tapi konon mereka juga ikut menggulingkan Pak Harto karena takut gerakann reformasi mengganggu kepentingannya, dan untuk menjaganya, mereka mendukung pengganti Pak Harto yang tetap nurut sama mereka...” tambah Jang Kodir lagi.

“Kok aneh sih, orang yang sudah mereka dukung, tapi kemudian ikut digulingkan juga?” tanya Kabayan. “Nggak aneh Kang, yang mereka dukung itu bukan orang, tapi kepentingannya. Aristide dulunya pro Amerika, istrinya juga orang sana. Osama bin Laden juga pernah membantu Amerika melawan Rusia, tapi belakangan jadi musuhnya juga. Saddam Hussein juga, Khadafi juga, Hosni Mubarak juga!” jawab Jang Kodir.

“Jadi kalau Pak Kades dan Ulis Kodir mendukung kepentingan mereka, mereka akan mendukung kepemimpinan Pak Kades dan Ulis Kodir di desa kita ini, terus nanti mereka akan menggulingkan Pak Kades dan Ulis Kodir kalau tidak mendukung kepentingan mereka lagi?” tanya Kabayan. Jang Kodir nyengir, “Mereka nggak ngurusi sampe segitunya Kang... kecuali kalau misalnya di sini ada perusahaan mereka dan Pak Kades atau sayah jadi propokator untuk nolak keberadaan perusahaan itu, mungkin saja bisa seperti itu!” jawabnya.

“Memangnya di kampung kita ada perusahaan punya Amerika, Jang?” kali ini Kang Omat yang bertanya. Jang Kodir mengusap-usap jenggot pendeknya, “Kecil-kecilan mah ada Kang, banyak kan produk mereka di sini, tuh, minuman itu, rokok, macem-macem lah..”

“Terus kita bagusnya gimana Jang supaya nggak diisengi Amerika?” tanya Kabayan. Jang Kodir merasa makin terjebak dalam omongannya sendiri, nyesel juga dia bawa-bawa Amerika ke warung kopi itu. “Ya mestinya, kalau kita sudah jadi negara yang mandiri, kita nggak perlu takut pada siapapun, kayak jamannya Pak Karno dulu!”

“Tapi katanya Pak Karno juga digulingkan Amerika, kumaha atuh?” tanya Kabayan lagi. “Namanya juga risiko pekerjaan Kang, pasti ada aja cobaannya. Jadi ulis saja banyak cobaannya, apalagi jadi presiden!” jawab Jang Kodir lagi. Kabayan mengangguk-angguk lagi, “Jang Ulis tidak sedang curhat sama kita kan, kayak presiden kita?” tanyanya. Jang Kodir terkekeh, “Curhat dikit nggak apa-apa atuh Kang, asal yang diajak curhat kebagian traktirannya, nggak cuma kebagian keluh kesahnya saja!”

Jogja, 29 Pebruari 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun