Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Semoga Ini Lebaran Terakhir

14 Mei 2021   20:36 Diperbarui: 14 Mei 2021   20:37 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: shutterstock via kompas.com

Tahun lalu keluarga kecil saya tak mudik, baik itu ke Jakarta (keluarga mertua) maupun ke Ciamis (keluarga saya). Kami 'terpaksa' berlebaran di Jogjakarta. Ramadan dan Idul Fitri tahun itu rasanya seperti 'hilang.' Malam hari tak shalat tarawih di masjid, siang tak bisa ngabuburit dengan bebas, dan Idul Fitri tak ikut shalat Id, karena memang tak ada yang menyelenggarakan. Apalagi, seorang tetangga yang hanya terhalang dua rumah dinyatakan positif covid-19, lengkap, sekeluarga.

Padahal, jauh sebelum itu, saya sudah merencanakan mudik ke Ciamis. Rencananya, si bungsu hendak disunat setelah lebaran. Sudah terbayang serunya, setelah kumpul lebaran, kumpul lagi keluarga yang lebih besar. Dua ekor kambing sudah dipersiapkan untuk dipotong, karena selain sunat, juga sekalian akikahan.

Keluarga dari mertua yang di Jakarta, sudah siap pula berkunjung ke Ciamis. Sudah bersiap memesan tiket kereta. Selain menghadiri sunatan, berkunjung ke rumah besan, apalagi kalau bukan sekalian liburan.

Tapi rencana tinggal rencana. Semuanya batal. Sunatan si bungsu ditunda. Lebaran tak mudik. Kambing belum jadi dibayar, dan terpaksa batal dibeli. Untungnya punya sodara, jadi tak terlalu masalah. Mereka mengerti. Kalau maksa pulang, liburan seminggu masih kurang, karena harus karantina dua minggu. Percuma.

Semuanya harus dijadwal ulang. Harapannya, lebaran tahun ini rencana itu dilaksanakan. Mumpung si bungsu masih TK dan belajar di rumah, karena niatnya memang disunat sebelum ia masuk SD tahun ajaran baru nanti.

Tapi ya itu, lagi-lagi batal. Mudik dilarang pemerintah (lagi). Kali ini tampaknya lebih serius pelarangannya. Dimana-mana dicegat. Meski tetap saja banyak yang bocor. Selain itu, jatah cuti juga dipangkas. Lima hari jelas tak cukup, perjalanan bolak-balik saja butuh dua hari.

Kami menjalani Ramadan dan lebaran di Jogja lagi.  Memang lebih baik. Sudah bisa shalat tarawih di masjid, meski jamaahnya dibatasi. Shalat Id juga dilaksanakan seperti biasa.

Apa yang belum biasa? Biasanya setelah rangkaian shalat id selesai, seluruh jamaah akan saling bersalam-salaman, entah itu berkeliling atau acak. Dimulai dari dalam masjid berlanjut ke luar. Selama dalam perjalanan kembali ke rumah, acara bersalaman dan saling sapa dengan orang yang kenal maupun tak kenal terus berlanjut. Jika tak kenal atau tak terlalu akrab, cukup dengan salaman disertai senyum. Jika kenal, akan disertai dengan bincang-bincang singkat.

Sampai di rumah, acara sungkem dan saling meminta maaf sesama anggota keluarga dimulai. Meski kadang sudah bersalaman di masjid, rasanya itu tak afdol, harus dimulai lain dengan lebih serius. Di rumah saya dulu, kadang sampai nangis atau setidaknya terisak berlinang air mata.

Setelah diselingi makan ketupat atau hidangan lainnya, biasanya dilanjutkan lagi. Entah kita yang berkeliling atau ada tetangga yang mampir. Tak peduli tadi sudah sempat salaman di masjid, akan diulangi lagi.

Kali ini? Setelah shalat id dan khutbahnya selesai. Hanya panitia masjid saja yang 'mewakili' acara meminta maaf dan 'salaman' itu. Selanjutnya, bubar masing-masing, tak salaman tak saling sapa --karena banyak yang tak dikenali karena wajahnya tertutup masker. Sampai di rumah, hanya sungkem dengan keluarga inti saja. Ke rumah tetangga agak segan, apalagi jika di rumah tetangga itu kedatangan tamu dari tempat jauh, takut si tamu membawa penyakit.

Setelah itu, sibuk menghubungi sana-sini lewat telpon atau video call. Sungkemannya virtual. Makannya virtual, hanya saling mengintip. Kumpulnya juga virtual. Mending kalau sinyal bagus. Kalau tidak, acara minta maafnya saja tak khusuk, kebanyakan teriak 'halo' atau 'apa, kurang jelas.'

Berikutnya adalah memeriksa pesan WA, baik di grup-grup maupun yang dikirimkan secara personal. Sebagai seorang pendidik, pesan WA saya bertumpuk-tumpuk. Sebagian dari nomor-nomor yang tak tercatat, sebagian dari kolega. Tapi banyaknya dari mahasiswa.

Isinya? Ya standar lah. Maklumi saja kalau kopas. Hanya ada satu dua yang ditambahi denga pesan 'custom' biasaya dari mahasiswa yang intens berhubungan, misalnya yang dibimbing skripsinya. Bagaimana membalasnya? Ya pakai 'template' yang standar juga. Satu dua saja yang juga dengan tambahan pesan 'custom.'

Teknologi komunikasi seperti itu harus diakui punya andil yang baik dalam mempertahankan silaturahmi dengan kerabat dan teman-teman yang jauh. Bayangkan saja, melalui media sosial seperti Facebook dan lain-lain, kita bisa kembali bertemu dengan teman-teman yang sudah terpisah jarak dan waktu. Ada teman SD, SMP, SMA, kuliah, dan sebagainya. Bahkan sebagian nama dan wajahnya pun sudah tak kita ingat lagi. Biasanya setelah 'bertemu' itu dilanjutkan dengan meminta nomor kontak dan berlanjut ke grup WA.

Bayangkan saja jika tanpa media sosial seperti itu. Kecil kemungkinan kita bisa terhubung dengan teman-teman masa lalu sebanyak itu --satu-dua mungkin saja. Kalau bukan kita yang merantau, teman-teman kitalah yang pergi. Apalagi orang seperti saya yang berpindah-pindah terus, SD di Bandung, SMP-SMA di Ciamis, kuliah S1 di Makassar, kemudian kerja dan lanjut lagi kuliah di Jakarta, pindah lagi ke Jogja. Akan ada begitu banyak teman yang tercecer, entah itu di lingkungan sekolah, kerja, atau tempat tinggal.

Bukankah dengan bantuan teknologi itu kita bisa terhubung kembali? Merajut kembali silaturahmi yang mungkin sudah sempat terputus sekian tahun atau bahkan puluhan tahun. Bersahabat saat imut-imut, bertemu lagi saat sudah amit-amit. Dulu babyface, sekarang masih babyface kalau liat di foto profilnya (taunya yang dipajang foto anak atau bahkan cucunya).

Nostalgia sedikit dengan inceran atau mantan tak ada salahnya, asal jangan keterusan saja. Siapa tahu tak jadi jodoh, besok jadi besan. Manalah kita tahu rencana Tuhan.

Sayangnya, pandemi covid ini membuat silaturahmi virtual itu sulit atau terpaksa ditunda untuk diwujudkan di alam nyata. Acara mudik yang biasanya diikuti dengan reuni teman-teman sekolah, banyak yang batal, atau setidaknya kurang peserta.

Mungkin itu saja yang terasa berbeda. Tak banyak kontak langsung, tak intens, dan kurang personal. Apa boleh buat, situasinya memang tak memungkinkan.

Semoga tahun ini adalah lebaran terakhir dengan model silaturahmi seperti ini. Mudah-mudahan tahun depan bisa mudik lagi. Nisa berkunjung ke rumah kerabat dan tetangga dengan lebih tenang dan nyaman seperti dulu. Bisa reunion lagi setelah lebaran.

Sehari-hari silaturahmi virtual, mudik lebaran dilanjutkan tatap muka dan salaman langsung, sambil makan bersama. Ah, alangkah indahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun