Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (55) Bidadari itu...

21 Januari 2021   18:55 Diperbarui: 19 Januari 2024   20:49 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Tak berapa lama berjalan, Soso menemukan sebuah benteng tua. Mungkin itu tadi yang disebut Benteng Gonio. Soso menghentikan langkahnya. "Tinggal saja saya Pak, saya mau melihat-lihat dulu..." kata Soso.

"Ya sudah..." kata Pak Kelbakiani, "Kalau nanti kau bingung mau pulang dari Batumi, tanya saja jembatan Chorokhi!"

Soso mengangguk. Pak Kelbakiani melanjutkan jalannya yang sangat cepat itu. Soso sendiri segera melipir mendekati benteng batu itu. Ia memasuki gerbangnya, lalu berjalan-jalan dan naik ke atas. Dari celah yang mungkin dijadikan para pemanah membidik musuh dalam pertempuran, ia bisa melihat pemandangan sekeliling.

Benteng itu berbentuk persegi empat. Laut Hitam terlihat dengan jelas saat ia menghadap ke arah barat. Di bibir pantainya terlihat pemandangan yang menakjubkan. Hamparan putih salju 'berhenti' di ujung lidah ombak. "Kirain lautnya juga membeku..." bathin Soso. Ia juga tak melihat alasan kenapa laut itu disebut Laut Hitam karena tampak biru seperti gambaran orang tentang laut umumnya.[2] 

Saat memandang ke arah timur, ada sebuah perbukitan yang diselimuti salju. Soso bingung, kenapa benteng itu tidak berada di atas perbukitan seperti yang ia lihat di Gori maupun di Tiflis. Barulah ketika ia melihat ke sebelah utara, ia menemukan penjelasan logisnya, setidaknya menurutnya. Di sebelah utara tampak sebuah sungai besar, mungkin itu tadi yang disebut Sungai Chorokhi. Bisa jadi, benteng itu memiliki dua tujuan, menghalau musuh dari laut, dan juga musuh dari utara yang menyeberangi sungai. Entahlah, tak ada orang yang bisa diajaknya bercerita.

Setelah cukup puas, ia kembali ke jalan dan melanjutkan perjalanannya ke arah Batumi kota. Setelah melewati jembatan kecil di atas sungai yang lebar, Soso sampai di sebuah persimpangan. Soso ragu, apakah ia akan belok kiri seperti petunjuk Pak Kelbakiani kalau mau ke tempatnya bekerja, atau lurus untuk sampai di pusat Kota Batumi. Akhirnya ia memilih belok kiri, "Tak ada salahnya aku tahu tempat bapaknya si Vaso bekerja dan tempat tinggalnya Natasha..." pikirnya.

Beberapa saat kemudian, ia melihat sebuah bangunan besar yang sangat ramai. Dari pinggiran sungai yang dekat dengan laut, tampak berjejer kapal-kapal kayu yang menurunkan berbagai barang. Para pekerja mengangkut peti-peti. Dugaan Soso itu adalah peti-peti ikan yang akan dibawa masuk dan diolah di dalam bangunan itu.

Ia tak berani mendekat. Ia berjalan mengikuti samping bangunan itu sampai ke sebuah tempat yang lapang. Tak jauh dari situ, berdiri sebuah bangunan lain yang megah dan indah. Bangunan itu terletak di tengah-tengah dataran penuh rumput yang tertutup oleh salju, dan menghadap ke arah laut yang agak jauh di sana. Jelas itu sebuah rumah, bukan pabrik. "Jangan-jangan itu rumahnya Natasha..." pikirnya.

Soso berpikir keras bagaimana caranya mendekati bangunan itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Dan ia menemukannya!

Seorang anak kecil tampak sedang menjaga beberapa ekor domba di pojokan lahan sebelah timur, di bawah sebuah pohon besar. Ia tampak sibuk menyingkirkan salju yang menutupi rerumputan untuk makanan ternaknya. Soso segera menghampirinya.

"Halo kawan, ada yang bisa kubantu?" tanya Soso pada anak kecil yang mungkin berumur delapan atau sembilan tahun itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun