Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama FEATURED

Nike Ardilla, Emak, dan Inspirasi yang Tak Mati

22 Desember 2020   11:03 Diperbarui: 19 Maret 2021   16:05 5116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Art by Alip Yog Kunandar

Dan kaset itu berkelana, karena tak punya alat untuk memutarnya. Tape angkutan umum yang saya tumpangi setiap hari berangkat-pulang sekolah jadi sasaran. Cuma para sopir angkutan saja yang pengertian. Teman-teman sekolah yang punya tape menolak keras.

Alasannya, Nike Ardilla tak layak bersanding dengan Iwan Fals, Slank, Metallica, Guns N Roses dan lainnya. Ya sudah, mau apa lagi... meski saya juga menyukai musik-musik dan musisi yang sedang tren saat itu, Nike Ardilla tetap di hati. Satu persatu kasetnya selalu saya beli sambil mencari kaset lama yang sudah keburu hilang di pasaran.

Agustus 1994, saya bersiap hijrah meninggalkan kampung halaman di Ciamis Jawa Barat untuk melanjutkan studi selepas SMA. Jurusan Desain Grafis ITB, meski lulus tes, ditolak Bapak, alasannya biayanya terlalu tinggi, terutama untuk praktik. Tinggal menunggu hasil UMPTN, pilihan 1 Jurnalistik Unpad Bandung, dan pilihan 2 Jurnalistik Unhas Makassar (masih bernama Ujungpandang saat itu). Dan pilihan 2 yang tembus.

Saya harus menuju tempat baru nun jauh di Sulawesi sana; tanpa sanak, famili, bahkan kenalan sekalipun!  

Emak sedih. Anak bandelnya akan pergi jauh ke negeri antah-berantah yang hanya dikenal lewat peta. Dengan uang yang entah darimana --karena Emak tak bekerja, ia membelikan dua barang; sebuah jam tangan dan radio-tape kecil.

Yang satu agar saya ingat waktu, dan yang satunya lagi agar saya punya teman. Barang-barang itu menjadi bekal hidup baru di kampung orang. Enam buah kaset album Nike Ardilla dan dua posternya dengan pose yang paling saya suka turut serta.

19 Maret 1995 kabar itu datang mengejutkan. Sangat mengejutkan. Nike Ardilla, meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di Bandung. Saya tercenung, dan menangis di kamar kos saya yang berada di belakang kampus Unhas Tamalanrea.

Emak sampai menelpon dari kampung, bukan hanya untuk menanyakan kabar seperti biasa, tapi juga menyampaikan kabar itu. Kabar yang sebetulnya juga sudah saya dengar. Mungkin Emak berpikir saya serius belajar, tak punya televisi, sehingga tak mendengar kabar itu.

Beberapa bulan kemudian, 'Nike Ardilla' juga semakin tega meninggalkan saya. Saat pindahan kos ke kontrakan kecil bersama dua kawan asal Kediri, sembilan kaset album Nike Ardilla saya lenyap digondol maling.

Terduganya, kawan dari salah satu teman seatap saya. Tapi saya tak bisa membuktikan. Saya hanya bisa menaruh dendam. Barang-barang itu tak seberapa harganya, tapi ia telah merampas sebagian catatan hidup saya, kenangan-kenangan yang saya titipkan dalam kaset-kaset itu!

Liburan panjang tahun 1996 saya baru bisa pulang kampung untuk pertama kalinya, setelah dua tahun merantau. Makam Nike Ardilla, di Imbanagara Ciamis, jadi tujuan utama. Di depan makamnya saya mengadu sambil melepas rindu yang tak berpadu; bertahun lamanya menyimpan harap untuk bertemu langsung, hanya bisa digantikan dengan mengusap pusaranya. Pilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun