12 Desember 1913, tepat seabad yang lalu, hubungan Italia dan Perancis memanas. Penyebabnya adalah ditemukannya lukisan Monalisa di apartemen milik Vincenzo Peruggia di Florence. Peruggia adalah orang Italia pecinta seni yang sangat gigih berjuang untuk mengembalikan lukisan karya Leonardo da Vinci itu ke tempat asalnya. Menurut Peruggia, seharusnya lukisan paling terkenal di dunia itu seharusnya berada di museum Italia, bukan di Louvre, Perancis. Ia kemudian menyuruh Eduardo de Valfierno untuk mencurinya dari Louvre. Tugas itu berhasil dilaksanakan pada 21 Agustus 1911. Sebelum menyerahkannya kepada Peruggia, Valfierno sempat menghubungi Yves Chaudron untuk membuat tiruannya, dan terjual enam kopi yang semuanya dibeli oleh warga Amerika Serikat. Sementara Peruggia kemudian menyimpan aslinya di apartemennya, hingga kemudian ditemukan.
Penemuan kembali Monalisa itu justru karena ulah Peruggia sendiri yang menjual lukisan aslinya kepada sebuah galeri –Galeri Uffizi di Florence yang kemudian memamerkannya di seluruh Italia. Louvre yang sudah menjadi ‘pemilik’ lukisan itu menang. Monalisa pun kembali ke Perancis. Geger hilangnya Monalisa itu sempat membawa-bawa nama penyair Perancis, Guillaume Apollinaire yang pernah berkoar-koar akan ‘membakar’ Louvre. Atas bantuan dari temannya, seorang pelukis juga terkenal, Pablo Picasso, Apollinaire akhirnya dibebaskan meski sempat ditahan dan dipenjara.
“Bukannya Monalisa itu lukisan da Vinci yang orang Italia, kenapa jadi milik Perancis?” tanya Kabayan.
Tidak banyak yang tau bagaimana Monalisa bisa sampai ke Perancis. Hanya saja, ada sebuah catatan yang menyebut jika Raja Francis I dari Perancis membeli lukisan itu dan kemudian menyimpannya di Museum Louvre sejak 1797. Sejak itulah, Monalisa berganti kewarganegaraan menjadi warga Perancis, bukan lagi warga Italia.
Soal banyaknya karya seni yang dibuat oleh seniman sebuah negara kemudian menjadi milik negara lain, bukan hanya dalam kasus Monalisa. Banyak lukisan dan karya seni lain yang terkenal dengan nasib yang sama. Biasanya tergantung dari siapa pemilik resmi terakhir lukisan itu. Lukisan karya Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro misalnya, itu tadinya milik Belanda, tapi kemudian dikembalikan ke Indonesia dan dipajang di Istana Merdeka. Banyak lagi lukisan lain dengan nasib yang sama, bahkan juga yang sebelumnya adalah hasil curian atau hasil jarahan selama perang.
“Monalisa itu siapa sih?” tanya Kabayan lagi.
Giorgio Vasari, seorang sejarawan renaisans Italia yang pertama kali menulis soal itu, berdasarkan catatan Leonardo da Vinci sendiri. Menurut Vasari, Monalisa adalah lukisan Lisa Gherardini, istri Francesco del Giocondo seorang pedagang sutra kaya yang meminta da Vinci membuatkan lukisan istrinya itu. Mona itu artinya Nyonya dari kata Madonna, jadi Monalisa kurang lebih ya artinya Nyonya Lisa. Da Vinci sendiri tidak pernah member nama lukisannya seperti itu, tapi kemudian nama itulah yang terkenal.
“Apanya sih yang hebat dari lukisan Monalisa? Menurut saya mah potonya nggak cantik-cantik amat, hehe…” tanya Kabayan lagi.
Menurut banyak ahli, foto itu juctru gambaran perempuan cantik masa itu, badannya berisi, melambangkan kesuburan. Ini beda sama cantik versi sekarang yang justru langsing dan cenderung kurus. Tapi yang bikin Monalisa itu terkenal adalah karena kasus pencuriannya itu. Leonardo da Vinci-nya sendiri sudah punya banyak karya lain yang sama terkenalnya, The Last Supper misalnya. Tapi lukisan potret Monalisa ini justru yang paling misterius soal kisah di balik pembuatannya. Banyak spekulasi, ada yang menganggap itu wanita idamannya da Vinci lah, padahal menurut cerita, da Vinci malah penyuka kaum sejenis, salah satunya kepada asistennya sendiri, Salai, yang kemudian diwarisi lukisan Monalisa itu.
“Ah maksudnya, Leonardo da Pinci itu homo gitu?” tanya Kabayan lagi.
Jangan kayak infotainment dong Kang, kita lagi ngomongin karya lukisan, bukan mau ngegosip urusan pribadi da Vinci! Ada yang menarik nih soal fakta lain lukisan Monalisa itu, bukan soal gossip da Vincinya.
“Yang ditulis di nopel Dan Brown?” tanya Kabayan.
Bukan, tapi soal sosok wajah Monalisa itu sendiri. Nih, saya punya tiga lukisan wajah yang dibuat oleh Leonardo da Vinci. Monalisa, potret diri Leonardo da Vinci, dan sosok Yesus dalam lukisan The Last Supper. Ternyata, dalam model dalam lukisan itu hampir sama… mm liat ini dulu deh…
Otak-atik figur lukisan Leonardo da Vinci
“Lho, kok kayak Leonardo da Vinci semua wajahnya?” Kabayan bengong. Hebat nih Jang Edwin, kok bisa menemukan hal ini. Bisa jadi pengamat lukisan nih, ini kan penemuan hebat!
Bukan saya yang menemukan Kang, saya pernah liat tayangan di BBC, ada peneliti yang melakukannya. Saya hanya mencobanya di rumah di komputer saya ini, dan ternyata benar. Garis wajah ketiga tokoh dalam lukisan ini punya kemiripan. Karena itu, banyak dugaan lain yang berkaitan dengan tokoh-tokoh lain yang dilukis oleh da Vinci yang ternyata menggunakan model orang yang dekat dengannya. Salah satunya, lukisan John The Baptist yang diduga menggunakan Salai, pembantunya, sebagai model. Entahlah…
“Kok begitu ya?” tanya Kabayan heran.
Banyak pelukis yang sering memberi cap pada hasil lukisannya, juga banyak pelukis yang punya ciri khas –entah disengaja atau tidak disadari sama sekali—berupa kesamaan bentuk, garis, warna atau apalah. Nah, mungkin ini juga salah satu ciri itu. Atau bisa jadi, menurut para ahli, Leonardo memang jenius sehingga membuat ‘cap’ yang unik dalam bentuk model lukisannya..
“Baru tau saya…” kata Kabayan lagi. “Ngomong-ngomong, kenapa sih orang luar bisa begitu detil kalau ngomongin karya seni, mulai dari sejarah sampai kisah-kisah di baliknya semuanya lengkap…” tanyanya.
Itulah bedanya dengan kita Kang. Kita punya banyak seniman. Kita punya banyak karya seni yang bagus. Tapi kepedulian kita terhadap karya-karya itu sangat kurang. Ulasan karya seni banyak yang hanya di permukaan, tak menyentuh aspek penciptaan, proses kreatif, kepribadian seniman, dan lain-lain. Kita juga kurang menghargai karya-karya seniman kita, akhirnya banyak karya seniman kita yang dihargai di luar, tetapi diacuhkan di dalam negeri. Di sini, ketika dipajang di museum hanya digeletakkan begitu saja tidak menarik untuk dilihat, tidak menarik untuk diteliti, tidak menarik untuk diceritakan. Akhirnya, banyak benda seni yang kemudian dicuri dan diselundupkan ke luar dengan iming-iming harga tinggi. Di sini kemudian diganti sama barang palsu, yang baru ketahuan setelah bertahun-tahun kemudian setelah benda aslinya entah ada di mana…
Kabayan melongo, “Bener Jang, kalau ke museum di sini, kok ya membosankan, cuma barang-barang tua berserakan, berdebu, terus kita nggak tau itu benda apa, sejarahnya bagaimana. Soal itu benda asli apa tiruan, kita sama sekali nggak tau dan nggak peduli, karena sudah keburu tidak tertarik duluan. Kalau model di luar kok kayaknya asyik ya, ada lukisan –keliatan jelek sekalipun— dipajang bagus, diceritakan kisah sama sejarahnya jadinya menarik…”
Yah begitulah Kang, kalau sebuah bangsa masih ngurusi perutnya, hal lain sering diabaikan. Padahal, jika diurusi, karya seni itu juga bisa mendatangkan duit yang banyak…
Jogja, 12 Desember 2013
(dari berbagai sumber)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI