Mohon tunggu...
Tifanaas
Tifanaas Mohon Tunggu... Mahasiswa Sains Data Universitas Negeri Surabaya

Mahasiswa yang gemar menulis dan tertarik pada kemajuan teknologi, sains, serta berbagai fenomena di sekitar. Menjadikan tulisan sebagai cara untuk berbagi perspektif dan wawasan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menguak Grup "Fantasi Sedarah" dan Ancaman Terhadap Anak

21 Mei 2025   15:36 Diperbarui: 21 Mei 2025   15:36 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak perempuan sedih, Sumber: Dokumentasi Pribadi: Desain Canva

Belakangan ini, muncul sorotan tajam terhadap keberadaan grup-grup tertutup di media sosial yang berisikan konten tidak pantas dan sangat meresahkan. Grup-grup tersebut menyebarkan cerita dan gambar yang mengarah pada fantasi menyimpang terkait hubungan keluarga, mulai dari anak, saudara bahkan orang tua, sesuatu yang seharusnya dijaga dengan penuh kasih dan rasa hormat. Bagi sebagian orang, mengetahui hal ini sudah cukup untuk membuat hati bergetar dan pikiran penuh amarah. Tega sekali mereka merusak makna keluarga---tempat yang seharusnya menjadi ruang perlindungan paling aman dan penuh kasih. Jika bahkan keluarga sudah tak lagi aman, ke mana lagi seseorang bisa berlindung?

Ironisnya, kerusakan itu kini tak hanya terjadi dalam ruang-ruang privat, tapi juga dipertontonkan dan disebarkan secara terang-terangan di media sosial.

Selain grup "fantasi sedarah", ternyata masih banyak grup serupa di media sosial yang menyebarkan konten menyimpang. Yang lebih mengkhawatirkan, grup-grup ini diikuti oleh ribuan anggota, seolah menjadi ruang aman bagi para pelaku untuk berbagi dan saling membenarkan perilaku mereka. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika terus dibiarkan, akan semakin banyak pelaku yang merasa bebas menyebarkan konten yang seharusnya tidak pernah ada, terutama yang melibatkan anak-anak sebagai korban.

Banyak dari korban ini masih berusia sangat muda, belum benar-benar memahami apa yang sedang mereka alami. Namun ketika mereka tumbuh dewasa, kesadaran itu bisa datang dalam bentuk trauma mendalam. Luka psikologis yang tak terlihat bisa bertahan lama, memengaruhi cara mereka memandang dunia, diri sendiri, bahkan makna kebaikan dan kepercayaan. Ada korban yang tumbuh dengan perasaan bahwa menjadi baik hanya akan membuat mereka dimanfaatkan dan dipermainkan---dan itu adalah kerusakan yang tak seharusnya mereka tanggung sejak awal.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

Sebagai masyarakat yang sadar akan bahayanya konten menyimpang seperti ini, kita tidak boleh tinggal diam. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah melaporkan keberadaan grup-grup tersebut kepada pihak berwenang. Kabar baiknya, saat ini kepolisian sudah mulai melakukan penindakan dan penangkapan terhadap beberapa pelaku yang terlibat di dalamnya.

Namun, upaya ini tidak cukup jika hanya berhenti pada satu atau dua pelaku. Penegakan hukum harus dilakukan secara menyeluruh, hingga ke akar-akarnya. Bukan hanya grupnya yang harus dibubarkan, tapi juga individu-individu yang secara aktif menyebarkan konten menyimpang maupun para admin yang mengelolanya.

Melaporkan grup saja belum menyelesaikan masalah. Faktanya, setelah satu grup ditutup, mereka seringkali membuat grup baru dengan nama berbeda. Lebih dari itu, pelaporan grup juga bisa berisiko menghapus jejak digital yang seharusnya dapat dijadikan barang bukti oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih tepat adalah memastikan setiap pelaku bisa dilacak dan diproses hukum, bukan sekadar menghapus permukaan dari masalah yang lebih dalam.

Selain mendorong tindakan terhadap grup-grup menyimpang di media sosial, kita juga perlu melihat ke dalam: ke lingkungan keluarga kita sendiri. Jangan sampai sibuk menyoroti yang jauh, tetapi lalai menjaga yang dekat. Kita perlu lebih peka terhadap apa yang dilakukan dan dialami oleh setiap anggota keluarga, terutama anak-anak.

Penting untuk membangun komunikasi yang terbuka dan penuh perhatian, agar mereka merasa aman dan didengar. Pendekatan ini bukan sekadar bentuk kasih sayang, tapi juga langkah pencegahan yang nyata. Jangan biarkan orang terdekat kita kehilangan rasa aman di tempat yang seharusnya paling melindungi mereka---rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun