Mohon tunggu...
Ali MarzukiZebua
Ali MarzukiZebua Mohon Tunggu... Dr. Ali Marzuki Zebua akademisi dan peneliti pada bidang Manajemen Pendidikan dan Kebijakan. Penulis buku-buku manajemen dalam pendidikan dan opini koran.

Hobi Menulis dan Musik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

MBG: Solusi Stunting atau Sumber Masalah Baru?

3 Oktober 2025   06:00 Diperbarui: 2 Oktober 2025   00:58 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang pemerintah sebagai jawaban atas persoalan stunting dan ketimpangan gizi anak sekolah. Namun, di balik niat baik itu, sederet kasus keracunan massal yang menimpa ratusan siswa di Bogor, Cianjur, Tasikmalaya, Sleman, hingga Lebong memperlihatkan wajah lain: program ini justru menyimpan celah tata kelola yang bisa berbalik menjadi bumerang. Alih-alih memperbaiki kualitas gizi generasi muda, MBG berpotensi menambah masalah baru---dari kerumitan birokrasi hingga ancaman keselamatan anak di sekolah.

Secara manajemen, MBG menuntut distribusi makanan dalam skala masif: jutaan porsi per hari di seluruh Indonesia. Dalam teori administrasi publik, rantai birokrasi sepanjang ini hampir selalu sarat kebocoran. Pemerintah harus mengurus pengadaan bahan, kontrak katering, distribusi logistik, hingga pengawasan kualitas. Dengan rekam jejak pengelolaan bansos dan proyek besar yang penuh kontroversi, pantas dipertanyakan apakah negara benar-benar sanggup menanggung beban logistik sebesar ini.

Lebih jauh, kualitas makanan yang sampai di tangan anak sekolah sangat bergantung pada lokasi. Di kota besar, katering mungkin lebih siap, meski tetap menyisakan masalah higienitas. Di daerah terpencil, menu sering seadanya: nasi dingin, lauk minim gizi, jauh dari standar ideal. Padahal, tujuan program ini adalah menyehatkan anak, bukan sekadar mengenyangkan. Jika yang tersaji hanya nasi kotak seadanya, maka program kehilangan ruhnya sejak awal.

Kasus-kasus nyata menguatkan kekhawatiran ini. Di Bogor, 210 siswa dari delapan sekolah keracunan setelah menyantap paket MBG. Di Cianjur, 78 siswa mengalami gejala serupa. Tasikmalaya mencatat lebih dari 400 siswa jatuh sakit usai makan menu MBG. Di Sleman, Yogyakarta, dan Lebong, Bengkulu, laporan keracunan juga mencuat, yang menurut pakar UGM dipicu minimnya pengawasan penyimpanan dan distribusi makanan. Fakta-fakta ini menegaskan, yang dipertaruhkan bukan sekadar efektivitas anggaran, melainkan keselamatan anak-anak.

Alternatif yang lebih rasional terbuka lebar. Alih-alih negara mengelola dapur raksasa, dana MBG sebaiknya langsung ditransfer ke orang tua. Dengan anggaran 10 ribu rupiah per anak per hari, berarti 250 ribu rupiah per bulan untuk 25 hari sekolah. Dana ini bisa disalurkan via rekening keluarga, mirip skema bantuan sosial non-tunai. Anak diwajibkan membawa bekal dari rumah, dan sekolah, bersama tim pengawas, dapat memeriksa kesesuaian standar gizi. Jika bekal tidak layak, orang tua dipanggil untuk edukasi. Model ini menghadirkan makanan lebih segar, memperkuat peran orang tua, sekaligus meringankan negara dari keruwetan logistik yang rawan bocor.

Dari perspektif kebijakan publik, pendekatan ini sejalan dengan prinsip subsidiaritas: negara memberi dukungan finansial, sementara eksekusi detail dikembalikan pada unit terkecil---keluarga. Pemerintah cukup menjadi fasilitator dan pengawas mutu, bukan "tukang masak" bagi jutaan anak. Dengan alur sederhana---uang ke orang tua, pengawasan di sekolah---potensi penyelewengan lebih mudah ditekan dan transparansi lebih terjaga.

Sayangnya, politik lebih sering menempatkan simbol di atas substansi. Memberi makan anak di sekolah terdengar heroik dan mudah dijadikan bahan kampanye, sementara transfer tunai dianggap kering. Padahal jika tujuan utamanya gizi, efektivitaslah yang seharusnya jadi ukuran. Kebijakan publik yang baik tidak selalu yang paling atraktif, melainkan yang paling realistis dikelola.

Jika pemerintah tetap memaksakan model penyediaan makanan massal, kegagalan tinggal menunggu waktu. Sejarah sudah memberi bukti: dari kasus keracunan massal hingga kualitas menu yang tak layak, risiko bagi kesehatan anak lebih nyata dibanding manfaatnya. 

Kini saatnya keluar dari jebakan logika populis. Memberi makan anak memang penting, tetapi lebih penting lagi memastikan gizi benar-benar tercapai. Program ini seharusnya tumbuh dari dapur keluarga, bukan dari birokrasi yang panjang dan rawan bocor. Gizi anak terlalu serius untuk dijadikan proyek politik. MBG hanya akan benar-benar bermakna bila dikembalikan pada akal sehat: keluarga sebagai dapur utama, negara sebagai pengawas, anak sebagai penerima manfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun