Mohon tunggu...
Ali Hasan Siswanto
Ali Hasan Siswanto Mohon Tunggu... -

Pengamat politik dan penikmat Moralogi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Living Al-Qur'an

25 Maret 2017   19:40 Diperbarui: 26 Maret 2017   04:00 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Living Qur’an sebagai mpendekatan baru dalam kajian alqur'an mendapatkan respon baik dikalangan intelektual. Hal ini didasari oleh realitas masyarakat yang selama ini meyakini al-qur'an sebagai kitab suci tetapi lalai menerapkan dalam kehidupan kesehariannya. Keprihatinan ini memantik munculnya living qur'an sebagai cara untuk menghidupkan kembali al-qur'an ditengah tengah perilaku masyarakat.  Living qur'an juga bisa dimaknai sebagai “teks al-Qur’an yang ‘hidup’ dalam masyarakat.” Pendekatan ini memotret proses interaksi masyarakat terhadap al-Qur’an, tidak sebatas pada pemaknaan teksnya, tetapi lebih ditekankan pada aspek penerapan teks-teks al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan teks-teks al-Qur’an tersebut kemudian menjadi tradisi yang "melembaga" dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Mantap ini mas hadi, biar kita umat muslim tidak hanya memusiumkan al-qur'an di dalam almari yang sepi dibaca apalagi diterapkan. Lebih jauh, segala perilaku kehidupan kita juga dapat mencerminkan isi substansi al-qur'an sehingga dapat menciptakan masyarakat qur'ani. Sangat menarik mengkaji ini mas hadi, agar semua niat, bahasa dan tindakan kita tidak menyalahi isi al-qur'an apalagi membunuh isi al-qur'an. 

Living al-quran berusaha melihat dan menerapkan maqashid al-syariah dalam kehidupan kita. Kita kemaren sudah belajar tentang maqashid al-syariah. Selain Auda, Syatibi juga menggambarkan maqashid dalam kitab muwafaqatnya. Syatibi membagi maqashid kepada dua bagian secara umum yaitu qashdu al- syari' dan qashdu al-mukallaf. Qashdu syari memiliki empat bagian salah satunya adalah qashdu al-syari' fi wadhi al-syariah (maksud syari dalam menetapkan syariat). Allah menurunkan syariat tidak lain untuk mengambil maslahah dan menghindari kemudaratan (jalbu al-mashalih wa dar'u al-mafasid). Dengan demikian, aturan yang Allah ciptakan hanya untuk kemaslahatan dan membawa kemaslahatan manusia. Pada kemaslahatan ini, Syatibi juga membagi pada dharuriyat, hajjiyat dan tahsinat. Pembagian maslahat mengacu pada kemaslahatan dharuriyat yang menjadi prinsip kehidupan manusia. Terdapat lima kandungan dalam maqashid dharuriyah yaitu hifdu al-din, hifdu al-nafs, hifdu al-nasl, hifdu al-mal dan hifdu al-aql. Berangkat dari asumsi yang dibangun syatibi, setidaknya kita sebagai manusia pemeluk agama menghidupkan substansi teks al-quran yang berbicara tentang lima prinsip sebagai kemaslahatan dharuriyah yang harus dijaga yaitu agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun