Jawa Barat, salah satu provinsi terbesar di Indonesia dan dikenal sebagai pusat kegiatan ekonomi, menghadapi tantangan besar dalam hal ketersediaan rumah layak huni. Di tengah pesatnya perkembangan infrastruktur dan investasi, data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase rumah tidak layak huni di provinsi ini masih tergolong tinggi. Hal ini menyebabkan sebuah ketimpangan dimana wilayah yang menjadi magnet ekonomi justru memiliki masalah mendasar dalam penyediaan perumahan yang layak bagi penduduknya.
Menurut laporan BPS Jawa Barat tahun 2023, sekitar 17% rumah tangga di provinsi tersebut masih belum memenuhi kriteria rumah layak huni. Rumah layak huni adalah tempat tinggal yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam indikator perumahan. Kriteria rumah layak huni mencakup: akses terhadap air minum yang layak, fasilitas sanitasi yang memadai, struktur atap, lantai, dan dinding yang memenuhi standar keselamatan, luas lantai per kapita yang mencukupi, serta sumber penerangan listrik yang tersedia. Tingginya tingkat urbanisasi dan migrasi masuk ke Jawa Barat, terutama ke wilayah Bogor, Depok, dan Bekasi, menambah tekanan pada pasar perumahan yang sudah penuh sesak. Kota-kota tersebut, yang berbatasan langsung dengan Jakarta, menarik banyak pendatang dari seluruh Indonesia karena menawarkan biaya hidup yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan ibu kota.
Pertumbuhan penduduk yang pesat memperburuk masalah kepadatan yang sudah ada sebelumnya. Menurut BPS, pada tahun 2023, Jawa Barat menyumbang sekitar 18% dari total migrasi internal di Indonesia. Banyak dari migran ini bekerja di sektor informal dan memilih hunian murah dengan fasilitas minim demi menghemat biaya hidup. Permukiman di kawasan padat seperti Bekasi dan Bogor sering kali tidak memenuhi standar rumah layak huni yang mencakup akses air bersih, ventilasi memadai, dan struktur bangunan yang kokoh.
Di sisi lain, pemerintah daerah belum mampu merespons kebutuhan ini dengan kebijakan yang efektif. Program rehabilitasi rumah tidak layak huni yang telah berjalan masih terkendala anggaran yang terbatas. Data  menyebutkan bahwa sekitar 45.000 rumah diperbaiki pada tahun lalu, tetapi jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan yang ada.
Kesenjangan ekonomi antarwilayah menjadi faktor utama krisis ini. Kota-kota seperti Bandung dan Bekasi memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten seperti Indramayu atau Garut. Akibatnya, investasi perumahan lebih banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan, sementara wilayah miskin tetap terabaikan.
Pendekatan baru dalam kebijakan perumahan sangat diperlukan. Pemerintah diharapkan merancang kebijakan berbasis zonasi yang mendorong pembangunan rumah murah di seluruh wilayah Jawa Barat, bukan hanya di daerah perkotaan. Selain itu, kemitraan dengan sektor swasta juga harus dioptimalkan untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan.
Harapan kepada pemerintah Jawa Barat akan langkah konkret yang meningkat. Rencana strategis yang menyelaraskan kebutuhan populasi yang terus bertambah dengan ketersediaan rumah layak huni harus menjadi prioritas. Pemerintah juga diharapkan lebih serius dalam mengalokasikan anggaran untuk perumahan rakyat serta mengadopsi pendekatan inovatif dalam perencanaan kota.
Untuk mencapai masa depan yang lebih baik, penting untuk segera memperbaiki fondasi hunian di Jawa Barat yang saat ini dianggap rapuh dan tidak merata. Langkah ini diperlukan untuk mengatasi kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan rumah layak huni dengan lebih baik.
Oleh Ade Octarina Pakpahan, Alief Raditia Ali, dan Anggia Sari Siregar (Politeknik Statistika STIS)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI