Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Leuweung, Lawang dan Lawung

20 Mei 2017   14:04 Diperbarui: 20 Mei 2017   14:12 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: dinatropika.wordpress.com

Meski di kawasan perkotaan tak ada hutan, namun kita sering mencari keteduhan di lingkungan taman dengan pepohonan yang rindang. Ini membuktikan, pohon sebagai bagian dari leuweung (hutan) merupakan lawang (pintu) untuk (nga)lawung(keun) (bertemu, pertemuan atau mempertemukan) antar manusia. Lewat keteduhan pohon di tepi jalanan, kita bertemu antar kawan, kerabat, saudara atau menjalin pertemanan.

Di masyarakat Sunda, juga masyarakat Indonesia lainnya, karuhun (sebutan bagi nenek moyang pada masyarakat di tatar Parahiangan) ada falsafal leuweung, lawang,lawung. Artinya, hutan (leuweung) merupakan gerbang (lawang) untuk pertemuan (lawung).

Ngalawungkeun (mempertemukan) antara manusia dengan sang Khalik. Bisa juga antara manusia dengan manusia dan manusia dengan sasatoan (bintang) dan tanaman. Dengan kata lain, hutan dijadikan untuk sumber kehidupan.

Pemikiran karuhun sebagai kearifan lokal, jauh melebihi pemikiran kita yang dianggap modern. Leuweung bukan hanya sebagai pintu masuk untuk mempertemukan antara manusia dengan manusia, namun manusia dengan pepohonan dan binatang. Bahkan juga, dengan (roh) nenek moyang dan sang khalik.

Kenyataan ini, bisa kita lihat di area mata air yang berada di tengah hutan keberadaannya dikeramatkan. Jangankan menebang pohon, masuk wilayahnya pun terlarang atau harus meminta ijin pada kuncen atau ketua adat.

Kawasan hutan seperti ini, dapat kita lihat di perkampungan masyarakat adat. Seperti di kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, masyarakat Cipta Gelar, Kabupaten Suabumi dan masyarakat Baduy.

Dengan terpeliharanya leuweung, maka keseimbangan alam akan terjaga. Harmoni alam akan mengalir tenang. Setenang sungai mengalirkan air dari sumbernya, tak pernah meluap di musim hujan, hingga menyebabkan musibah banjir. Tak akan ada kekeringan manakala musim kemarau.

Masyarakat tradisi sudah memahami, bahwa jika leuweung terjaga, maka kebutuhan hidup tetap terpenuhi. Binatang buruan dan buah-buahan atau biji-bijian dapat diambil dengan mudah. Tanpa harus mengganggu ekosistem, dengan berburu binatang secara berlebihan dan menebang pohon sesuai dengan kebutuhan.

Kearifan lokal seperti falsafah leuweung, lawang, lawung, sudah hampir punah. Manusia modern lebih banyak membangun hutan-hutan beton. Mengeksploitasi alam secara berlebihan. Maka bencana pun tak lagi bisa ditahan. Seperti banjir, tanah longsor, hujan disertai angin putting beliung dan butiran es merpakan isyarat rusaknya alam.

Kesadaran pentingnya keberadaan hutan, selalu digelorakan kasepuhan Solihin GP (90 th), yang lebih dikenal dengan mang Ihin, mantan Gubernur Jabar melalui jargon: leuweung ruksak, cai beak rakyat balangsak(hutan rusak, sumber air habis masyarakat akan sengsara).

Bagaimanapun sebagai sesepuh, beliau merupakan saksi bagaimana kerusakan hutan telah begitu masif. Sehingga tak lelah untuk selal menyarakan, bahwa hutan berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Menjaga siklus tata air yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun