Mohon tunggu...
Alina Widya
Alina Widya Mohon Tunggu... Programmer - Penyuka wangi puisi

No doubt

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyai Yatemi....

21 Maret 2020   12:26 Diperbarui: 21 Maret 2020   12:35 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua orang dukuh Banjaran Kidul sudah tau kalo Yatemi yang sekarang minta dipanggil Nyai Yatemi itu kaya raya. Lihatlah rumahnya sebesar lapangan basket, meski tidak seluruhnya tembok namun separuh dindingnya adalah kayu jati yang tebal dan kualitas terbaik. Sawahnya luas, saat panen tiba emaknya sampai menyewa beberapa truk untuk membawa beras ke pedagang di pasar kecamatan dan kota-kota lain. Lho kok bisa? Dia khan orang desa, dukuhnya aja 25 km dari kota kecamatan.

Nyai Yatemi mendapatkan itu semua dari sebuah kerja keras guys. Meski cuma tamatan SD tapi dia punya semangat tinggi untuk memperbaiki taraf kehidupan yang dulu sangat miskin, bahkan bapaknya meninggal karena sakit TBC saat ia masih sekolah. Nyai Yatemi tidak ingin mengulang pengalaman pahit saat ia ikut emak mengantar bapak berobat di puskesmas naik angkutan desa yang hanya melewati jalan dukuh Banjaran Kidul saat hari Pasaran saja, seminggu sekali. Setelah dua jam menunggu antrian akhirnya nama bapak dipanggil. Emak yang mengurus pendaftaran kembali ke bangku antrean dengan wajah sedih. Kartu Berobat Gratis untuk warga miskin milik mereka sudah kadaluarsa, harus diganti atau paling tidak ada surat rekomendasi dari kepala desa. Artinya bapak tidak bisa berobat. Emak masih berusaha mengatakan bahwa surat rekomendasi akan menyusul setelah ia menemui kepala desa besok. Pihak puskesmas menyarankan berobat bayar saja, daripada tidak jadi berobat. Nah, akhirnya bapak berobat bayar, tidak mahal sih, tapi masyaallah..setelah menyerahkan resep dokter di apotik, wajah emak kembali berkerut. Uang yang mereka bawa tidak cukup untuk menebus obat. Yah.. emak menyesal menjadi orang bodoh yang tidak mengikuti perkembangan kebijakan yang berganti-ganti.Bapak pulang kerumah tanpa membawa obat. Emak memang sudah mengurus kartu jaminan kesehatan, namun birokrasi mengharuskan emak menunggu sampai kartu jadi, baru bisa berobat lagi. Penyakit bapak rupanya tidak bisa menunggu. Belum sempat berobat gratis ia sudah menghadap yang maha kuasa. Yatemi kecil memandangi dengan berurai air mata ketika bapak merintih dan kesakitan di dadanya lalu diam untuk selamanya.Hari-hari berikutnya 

Yatemi bersama ibunya bertahan hidup dengan berkebun apa saja di halaman rumah mereka. Hingga akhirnya Yatemi berusia 15 tahun ia minta izin kepada emak untuk merantau ke Hongkong sebagai TKI dari sebuah biro jasa. Tidak gratis karena untuk itu sebagian halaman rumah mereka harus direlakan untuk dijual.Singkat cerita, Yatemi selalu mengirimkan penghasilannya sebagai buruh pabrik buah kaleng kepada emak. Kehidupan emak semakin membaik, ia bahkan sudah membeli kembali tanah pekarangan yang dulu ia jual untuk biaya keberangkatan Yatemi. 

Setelah 5 tahun Yatemi memilih tidak pulang karena ia mendapat tawaran bekerja dirumah pemilik perusahaan sebagai pengasuh anak mereka yang memiliki kekurangan fisik tuna rungu. Yatemi mulai mengenal media sosial ketika tinggal di rumah mewah dengan penghasilan yang lebih banyak. Yatemi bahkan lebih berpengalaman dari para lulusan sarjana di negeri asalnya, ia bisa berbahasa isyarat, ia bepergian ke berbagai negara mengikuti liburan dan kegiatan anak asuhnya yang hanya bisa diam dan tidak terlalu merepotkan karena ia hanya menjaga dan menyediakan keperluannya sehari-hari. Dari akun sosmed miliknya ia sering membagi foto-foto selfie saat ia bepergian ke berbagai negara asia, eropa dan amerika dengan outfit-outfit kekinian yang bikin iri para wanita.

15 tahun kemudian Yatemi yang sekarang minta dipanggil Nyai Yatemi pulang ke dukuh asalnya dengan menyewa mobil mewah dan bagasi penuh oleh-oleh untuk emaknya. Alhamdulillah emak sudah naik haji dan rumah mereka sudah diperbaiki. Nyai Yatemi memasuki kota kecamatan dan sedikit heran. Seorang petugas berpakaian tertutup dan menggunakan masker menghampiri jendela dan memintanya untuk turun. Nyai Yatemi akan diperiksa kesehatannya karena ternyata saat ini negaranya sedang dilanda pandemi covid-19 seperti China beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya ia sudah menjalani pemeriksaan berulang kali sejak mulai berangkat di bandara Beijing, di bandara Juanda sebelum memasuki mobil yang ia sewa untuk mengantar kerumahnya. Dari semua pemeriksaan itu Nyai Yatemi dinyatakan sehat. Ia menolak untuk diperiksa karena sudah membawa surat keterangan sehat dari pemeriksaan di Bandara Juanda. Petugas memaksa dan mengancam akan melaporkan ke pihak berwajib jika Nyai Yatemi tidak mau diperiksa.Nyai Yatemi akhirnya mengalah dan diperiksa. 

Betapa terkejutnya ketika pihak petugas menyatakan bahwa Nyai Yatemi sudah terpapar virus covid-19 dan harus di isolasi.  Ternyata sang sopirlah yang menularkan selama di perjalanan. Beberapa jam yang lalu Ia terpapar karena lupa membersihkan tangan dengan hand sanitizer yang selalu ia bawa saat sang sopir  menerima kembalian uang dari SPBU dan diserahkan padanya. Kecolongan yang terjadi hanya beberapa detik saja berakibat fatal. Surat rekomendasi kesehatan dari manapun tidak berlaku lagi. Mereka berdua segera mendapatkan penanganan serius di rumah sakit rujukan. Nyai Yatemi juga kaget karena ia tidak perlu mendaftarkan diri dengan fasilitas tunjangan kesehatan dan birokrasi lainnya. Ia berfikir mungkin keadaan sudah berubah membaik sejak ia berada di luar negeri. Layanan kesehatan saat ini tidak seperti dulu, saat ayahnya dipersulit dengan urusan birokrasi saat mau berobat. Sekarang  tidak perlu birokrasi yang penting ditangani dululah... Pengecekan kesehatan sampai dijalan-jalan, di tempat-tempat keramaian. Tidak perlu mendaftar dan gratis tanpa harus membayar. Orang-orang kaya seperti Nyai Yatemi sampai menolak-nolak diperiksa karena sudah terlalu sering diperiksa, eh..atau memang seharusnya begitu. Pandemi covid-19 ini khan bisa saja terpapar dalam hitungan menit bahkan detik. Atau memang birokrasi dinas kesehatan harus melaksanakan pemeriksaan agar bisa menekan jumlah yang terpapar virus ini? takut ditegur atasan? takut dikecam WHO? takut kalo jumlah terpapar paling banyak di seluruh dunia? gengsi? takut terpapar virus? takut mati?
Kita lihat saja, nanti saat pandemi ini sudah lewat, apakah sebegitu care-nya mereka terhadap kesehatan masyarakat???? 

Ya sudahlah. Akhirnya Nyai Yatemi belum bisa pulang ke rumahnya karena terpapar virus Covid-19.

*Next episode : saat Nyai Yatemi di isolasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun