Aku sekarang menempati sebuah rumah berukuran 6 meter persegi. Rumah yang kutempati ini merupakan sisa harta yang telah diwariskan keluarga kepadaku. Aku harus menerima risiko hidup susah yang kini ku rasakan. Tidak seperti dahulu, saat kedua orang tua dan adikku masih ada. Semua kebutuhan dan keinginanku segera terwujud.
Itulah nasib, semua dapat berubah ibarat perputaran sebuah roda. Terkadang berada di bawah, juga dapat berputar ke atas. Saat berada di bawah, kesusahan hidup akan kita hadapi. Ketika roda berputar ke atas, di saat itulah kenikmatan serta kejayaan hidup dapat kita rasakan pula.
Sekarang aku harus memutar otak, untuk dapat bertahan hidup. Di gubuk inilah aku menjalani hidup. Di gubuk derita ini juga aku harus memulai kembali kehidupan dari titik terendah. Aku harus melepas egoku, aku harus berani menerima kenyataan pahit.Â
Mungkin takdir yang harus aku jalani ini bagian dari skenario Tuhan. Aku merasa semua yang sedang ku hadapi buah dari masa laluku. Sebelum kedua orangtua dan adikku meninggal dunia, aku dikenal sebagai anak yang tidak patuh pada orangtua. Aku selalu menghambur-hamburkan harta orangtua, tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi di kemudian hari.
Setelah kejadian yang memilukan itu, kedua orangtua dan adikku mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan mereka meninggal dunia, aku merasa kehilangan segalanya. Kejadian itu membuatku baru tersadar akan perbuatan buruk yang telah aku lakukan selama ini. Aku mulai menjalani kehidupan dengan kondisi seadanya dan yang hanya tersisa sebuah bangunan reot, sisa warisan orangtuaku yang hanya layak disebut gubuk. Bangunan reot inilah tempatku berteduh dan beristirahat.Â
Aku merasa malu ketika tidak mampu melakukan hal yang dilakukan orang lain, seperti mengumpulkan barang bekas untuk dijual sehingga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetangga di sekitarku seperti mencibir, seolah- olah mereka berkata, "Kasihan si anak kaya, sekarang harus hidup dalam kemiskinan". Ingin rasanya aku hampiri mereka dan membalas cibiran itu. Yah sudahlah, untuk apa harus ku balas ucapan mereka, khawatir yang akan muncul rasa sakit hati saja. Aku harus menerima dengan ikhlas apa pun yang dikatakan orang lain padaku.
Sejenak aku menghela napas karena kelelahan bekerja seharian. Aku bekerja sebagai buruh kasar yang lokasinya tidak jauh dari gubuk tempat tinggalku. Memang terasa jauh berbeda saat aku masih memiliki harta dengan keberadaanku sekarang ini. Aku harus terus giat bekerja tanpa mengingat lelah sehingga tubuhku terlihat semakin kurus. Aku harus optimis, biarlah masa kelamku menjadi cambuk untuk menatap esok hari yang lebih cerah.
Di kesendirianku berada di gubuk ini, sering kurasakan sepi dan sunyi. Terkadang tetesan butiran-butiran air jatuh dari kedua pelupuk mataku. "Ya Allah, berilah hamba kekuatan menghadapi dan menjalani takdir-Mu, ikhlaskan hati dan jiwa ini untuk menerima segala ketentuan-Mu", itulah permohonan yang selalu aku munajahkan di sela-sela malam. Terlalu lama aku jauh dari jalan kebenaran. Aku masih sangat beruntung, Tuhan memberikan kesempatan kepadaku untuk bertobat.
Biarlah aku merasakan kepahitan hidup saat ini. Bagiku kebahagiaan itu tidak terletak pada harta benda. Kebahagiaan itu tidak hanya muncul dari pangkat, status hidup seseorang saja. Kebahagiaan itu tidak dimiliki oleh mereka yang memiliki rupa yang cantik dan tampan rupawan. Ya, aku tak memiliki yang orang lain punya, yaitu harta dan benda, Â bahkan aku tak memiiki siapa-siapa di sampingku . Tetapi, aku masih memiliki hati, aku masih sangat bahagia, walaupun aku harus berada di dalam gubuk derita.
(Ali Kusas)