Mohon tunggu...
Jhon Qudsi
Jhon Qudsi Mohon Tunggu... Pegiat Media Sosial

Eksistensi suatu peradaban di bentuk oleh tulisan yang melahirkan berbagai karya i buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nilai Gengsi Seorang Sarjana Kalah dengan Penjual Kacang

14 Mei 2025   15:19 Diperbarui: 14 Mei 2025   15:19 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena yang makin sering terjadi belakangan ini cukup menyentil nurani sosial kita: seorang sarjana bisa kalah gengsi dari penjual kacang rebus. Bukan hanya soal penghasilan, tapi juga dari cara masyarakat memberikan penghargaan. Penjual kacang yang terlihat "bekerja nyata" sering lebih dihormati daripada sarjana yang masih "berjuang secara idealis."

Lucu? Memang.

Menyakitkan? Bagi beberapa orang, iya.

Tapi yang lebih penting: ini adalah cermin dari kenyataan sosial kita hari ini.

Dulu, punya gelar sarjana dianggap seperti punya lampu Aladdin: digosok sedikit, langsung muncul pekerjaan dengan gaji besar dan masa depan cerah. Tapi sekarang? Banyak sarjana justru duduk di warung kopi, menyusun CV, lalu mengeluh karena setiap lowongan kerja mensyaratkan "pengalaman minimal 2 tahun dan skill multitasking setara superman."

Sementara itu, penjual kacang bangun pagi, berjualan dengan semangat, dan bisa mengantongi ratusan ribu rupiah per hari. Dia tidak tahu apa itu "soft skill," tapi dia punya survival skill yang nyata: tahan panas, tahan hujan, dan tahan omelan istri kalau pulang telat.

Di tengah kerasnya kehidupan, masyarakat makin pragmatis. Mereka cenderung memberikan respek bukan kepada siapa yang paling pintar secara teori, tapi kepada siapa yang paling jelas penghasilannya.

Seorang sarjana dengan penampilan formal yang melamar kerja belum tentu dihargai. Tapi penjual kacang yang bisa menyekolahkan anaknya hingga kuliah walau hanya lulusan SD akan dipandang sebagai "orang sukses."

Salah satu akar masalahnya ada di sistem pendidikan. Terlalu banyak teori, terlalu sedikit praktik. Mahasiswa diajarkan bagaimana menjawab soal, tapi tidak diajarkan bagaimana menjawab kebutuhan hidup.

Sarjana diajari manajemen keuangan, tapi tak pernah diberi modal untuk memulai usaha sendiri.

Sementara penjual kacang tidak ikut seminar wirausaha, tapi paham bahwa lokasi strategis dan senyum ramah bisa meningkatkan omzet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun