Fenomena yang makin sering terjadi belakangan ini cukup menyentil nurani sosial kita: seorang sarjana bisa kalah gengsi dari penjual kacang rebus. Bukan hanya soal penghasilan, tapi juga dari cara masyarakat memberikan penghargaan. Penjual kacang yang terlihat "bekerja nyata" sering lebih dihormati daripada sarjana yang masih "berjuang secara idealis."
Lucu? Memang.
Menyakitkan? Bagi beberapa orang, iya.
Tapi yang lebih penting: ini adalah cermin dari kenyataan sosial kita hari ini.
Dulu, punya gelar sarjana dianggap seperti punya lampu Aladdin: digosok sedikit, langsung muncul pekerjaan dengan gaji besar dan masa depan cerah. Tapi sekarang? Banyak sarjana justru duduk di warung kopi, menyusun CV, lalu mengeluh karena setiap lowongan kerja mensyaratkan "pengalaman minimal 2 tahun dan skill multitasking setara superman."
Sementara itu, penjual kacang bangun pagi, berjualan dengan semangat, dan bisa mengantongi ratusan ribu rupiah per hari. Dia tidak tahu apa itu "soft skill," tapi dia punya survival skill yang nyata: tahan panas, tahan hujan, dan tahan omelan istri kalau pulang telat.
Di tengah kerasnya kehidupan, masyarakat makin pragmatis. Mereka cenderung memberikan respek bukan kepada siapa yang paling pintar secara teori, tapi kepada siapa yang paling jelas penghasilannya.
Seorang sarjana dengan penampilan formal yang melamar kerja belum tentu dihargai. Tapi penjual kacang yang bisa menyekolahkan anaknya hingga kuliah walau hanya lulusan SD akan dipandang sebagai "orang sukses."
Salah satu akar masalahnya ada di sistem pendidikan. Terlalu banyak teori, terlalu sedikit praktik. Mahasiswa diajarkan bagaimana menjawab soal, tapi tidak diajarkan bagaimana menjawab kebutuhan hidup.
Sarjana diajari manajemen keuangan, tapi tak pernah diberi modal untuk memulai usaha sendiri.
Sementara penjual kacang tidak ikut seminar wirausaha, tapi paham bahwa lokasi strategis dan senyum ramah bisa meningkatkan omzet.