Satuan Komunitas Al Zaytun Peringati Hari Pramuka: "Kolaborasi membangun Ketahanan Bangsa"
Oleh Dr. Ali Aminullah, S.Ag. M.Pd.I., ME (Dosen IAI ALAZIS)
Di bawah langit biru Al Zaytun, semangat kepanduan berkobar. Tanggal 14 Agustus 2025, bukan sekadar hari biasa, melainkan momentum sakral di mana Satuan Komunitas Gudep Pramuka Al Zaytun 12.001-12.002 berkumpul. Di lapangan medan satria wiratama, dari tingkatan siaga yang polos hingga pandega yang penuh gagasan, mereka berdiri dalam satu barisan. Peringatan Hari Pramuka ke-65 ini menjadi wadah untuk merenungkan kembali arti sebuah janji, sebuah karya, dan sebuah bangsa.
Perayaan ini mengusung tema yang begitu relevan: "Kolaborasi untuk Membangun Ketahanan Bangsa dan Pendidikan Perkemahan Pramuka LSTEAM Novum Gradum." Sebuah tema yang menggemakan seruan untuk bersatu, berkarya, dan berinovasi.
Makna di Balik Janji dan Karya
Upacara dimulai dengan khidmat. Alunan "Satya Dharma Pramuka" dan "Indonesia Raya 3 Stanza" menggetarkan udara, membangkitkan rasa cinta tanah air yang mendalam. Setiap lirik, setiap bait, adalah pengingat akan komitmen yang dipegang teguh. Setelah hening cipta dan pembacaan teks-teks luhur negara, Drs. Purnomo, M.Pd., Ketua Majelis Guru Al Zaytun, naik ke podium. Dalam amanatnya, beliau mengajak seluruh anggota pramuka untuk mewujudkan tema peringatan dengan aksi nyata.
Purnomo mengingatkan bahwa sejak awal berdirinya hingga kini, Al Zaytun masih menggunakan kata "kepanduan." Kata ini bukan tanpa makna. "Pandu" berarti pelopor atau pemimpin yang berada di garis depan, membimbing bangsanya. Ini adalah cikal bakal manusia yang berkarakter sehat, cerdas, dan humanis. Demikian juga dengan akronim Pramuka---Praja Muda Karana---yang berarti "pemuda bangsa yang giat bekerja atau berkarya." Ini bukan sekadar teori, melainkan panggilan untuk berbuat, menciptakan, dan berkontribusi. Karya nyata, bukan omong kosong.
Perjalanan kepanduan di Indonesia adalah cerminan perjuangan bangsa. Jauh sebelum kemerdekaan, bibit-bibit semangat kepanduan sudah tertanam. Pada tahun 1912, organisasi kepanduan pertama muncul di Batavia sebagai cabang dari Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO). Empat tahun kemudian, lahirlah Javaansche Padvinders Organisatie, organisasi kepanduan pribumi pertama yang didirikan oleh Mangkunegara VII di Solo.
Namun, semangat ini tidak berhenti di situ. Berbagai organisasi kepanduan berbasis agama, etnis, dan ideologi bermunculan, seperti Hizbul Wathan (Muhammadiyah), Pandu Ansor (NU), dan lainnya. Semua memiliki satu tujuan: membentuk karakter generasi muda.
Setelah kemerdekaan, muncul upaya untuk menyatukan gerakan ini. Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia pada tahun 1945 melahirkan Pandu Rakyat Indonesia. Namun, gejolak politik dan agresi militer Belanda membuat gerakan ini terpecah lagi menjadi lebih dari 100 organisasi. Keadaan ini menunjukkan pentingnya persatuan, yang akhirnya menjadi fondasi bagi lahirnya Gerakan Pramuka.
Lahirnya Pramuka sebagai Wadah Persatuan
Melihat perpecahan yang tak kunjung usai, Presiden Soekarno bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IX (yang dikenal sebagai Pandu Agung) mengambil inisiatif besar. Pada 9 Maret 1961, nama Pramuka diresmikan---singkatan dari Praja Muda Karana. Nama ini menjadi simbol baru, mengisyaratkan semangat gotong royong dan kesatuan.
Tonggak sejarah lainnya terjadi pada 20 Mei 1961, saat Keputusan Presiden Nomor 238/1961 diterbitkan. Puncaknya, pada 14 Agustus 1961, Gerakan Pramuka secara resmi diperkenalkan kepada masyarakat dalam sebuah upacara bersejarah. Presiden Soekarno menyerahkan Panji Gerakan Pramuka kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Ketua Kwartir Nasional pertama. Momen inilah yang hingga kini kita kenang sebagai Hari Pramuka Nasional.
Simbol dan Nilai yang Abadi