Nasionalisme Klasik di Bumi Nusantara
Oleh: Ali Akbar Harahap, S.Kom., M.Sos.
Pendahuluan
Nasionalisme klasik di bumi Nusantara tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari luka penjajahan, tetapi juga dari kesadaran spiritual dan kultural yang telah berakar sejak lama. Nasionalisme ini bukan hanya perjuangan politik, melainkan refleksi batin suatu bangsa yang menuntut haknya untuk hidup bermartabat di atas tanah sendiri.
Seperti dikatakan Soekarno (1930) dalam pledoinya Indonesia Menggugat, bahwa nasionalisme Indonesia "bukanlah nasionalisme yang menutup diri, tetapi nasionalisme yang memerdekakan dan memanusiakan." Maka, semangat kebangsaan klasik kita sejatinya adalah cinta yang aktif terhadap kemerdekaan, keadilan, dan martabat manusia.
Akar Historis Kesadaran Nasional
Sebelum kolonialisme menguasai kepulauan ini, peradaban Nusantara telah memiliki benih kebangsaan. Dari Sriwijaya yang mempersatukan wilayah melalui ilmu dan perdagangan, hingga Majapahit dengan Sumpah Palapa-nya yang visioner, bangsa ini telah memahami makna kedaulatan dan persatuan.
Kesadaran akan "tanah air bersama" ini merupakan bentuk nasionalismeÂ
pra-modern - Â berbasis budaya dan spiritualitas, belum pada kesadaran politik seperti kemudian. Namun ketika kolonialisme Eropa menindas sistem sosial dan ekonomi bangsa, lahirlah bentuk baru dari kesadaran itu: nasionalisme modern.
Menurut Benedict Anderson (1983) dalam Imagined Communities, bangsa adalah komunitas yang dibayangkan (imagined) karena anggotanya meski tidak saling mengenal, namun memiliki rasa persaudaraan mendalam. Dalam konteks Indonesia, "bayangan kebangsaan" itu tumbuh melalui bahasa, pendidikan, dan penderitaan bersama di bawah penjajahan.
Lahirnya Gerakan Nasional Klasik