Sayangnya, dalam realitas politik kontemporer, kebebasan nurani kerap digantikan oleh politik kepentingan dan pencitraan. Banyak pejabat yang secara rasional tahu apa yang benar, tetapi memilih diam demi keamanan posisi. Inilah yang oleh Hannah Arendt (1963) disebut sebagai "the banality of evil" - kejahatan yang lahir bukan dari kebencian, melainkan dari keengganan mendengar suara nurani sendiri.
Fenomena ini juga terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia, ketika keberanian moral digantikan oleh kalkulasi pragmatis. Padahal, pembangunan bangsa memerlukan manusia yang berani mendengarkan nuraninya - yang berani mengatakan benar meski sendirian.
Etika Kebebasan Nurani dalam Perspektif Islam
Islam memandang kebebasan nurani bukan sebagai ancaman terhadap otoritas agama, melainkan sebagai ekspresi kejujuran iman. Nabi Muhammad SAW sendiri menolak pemaksaan keyakinan dan memberi ruang dialog bahkan kepada yang berbeda. Dalam Sirah Nabawiyah, beliau bersabda:
 "Aku diutus bukan untuk memaksa, melainkan untuk menyampaikan." (HR. Ahmad).
Ulama kontemporer seperti Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity menegaskan bahwa kebebasan nurani adalah landasan bagi ijtihad, yaitu kebebasan berpikir dalam menafsirkan kehendak Tuhan sesuai konteks zaman. Tanpa kebebasan nurani, umat hanya menjadi pengikut tanpa daya refleksi.
Analisis: Krisis Nurani dalam Dunia Modern
Krisis kemanusiaan modern sejatinya berakar pada krisis nurani. Ketika manusia terperangkap dalam rutinitas materialistik dan hedonistik, nurani menjadi tumpul. Media massa, kekuasaan, dan algoritma digital kini mengarahkan kesadaran manusia, menggantikan suara hati dengan opini publik.
Secara sosiologis, kondisi ini mencerminkan apa yang disebut mile Durkheim (1897) sebagai anomie - keadaan
 di mana norma-norma moral melemah, dan individu kehilangan pedoman batin. Akibatnya, masyarakat kehilangan arah etik meskipun teknologi dan pendidikan maju.
Oleh karena itu, kebebasan nurani bukan sekadar isu filsafat, tetapi menjadi fondasi pembangunan bangsa. Negara yang menghargai nurani warganya akan melahirkan politik yang beradab, hukum yang adil, dan kebudayaan yang manusiawi.