Kebebasan Nurani: Pilar Kemanusiaan yang Sering Terlupakan
Oleh: Ali Akbar Harahap, S.Kom., M.Sos.
Lead:
Dalam sejarah peradaban, kebebasan nurani (freedom of conscience) selalu menjadi inti dari perjuangan manusia melawan dominasi kekuasaan dan dogma. Ia bukan sekadar kebebasan berpikir, melainkan kebebasan terdalam untuk menentukan apa yang diyakini benar - bahkan ketika kebenaran itu tidak populer. Di sinilah nurani berfungsi sebagai benteng terakhir kemanusiaan.
Makna dan Dimensi Kebebasan Nurani
Secara konseptual, kebebasan nurani adalah hak asasi manusia yang bersifatÂ
inalienable - tidak dapat dicabut oleh siapa pun. Menurut Immanuel Kant (1785) dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, nurani merupakan "suara moral internal" yang mengarahkan tindakan manusia sesuai dengan hukum moral universal. Sementara John Locke (1689) dalam A Letter Concerning Toleration menegaskan bahwa kebebasan beragama dan nurani adalah hak alamiah manusia, karena keyakinan tidak dapat dipaksakan oleh kekuasaan.
Dalam konteks keislaman, kebebasan nurani tercermin dalam prinsip
 la ikraha fid-din  - "tidak ada paksaan dalam agama" (QS. Al Baqarah [2]: 256). Tafsir Muhammad Abduh menekankan bahwa ayat ini bukan sekadar larangan memaksa orang lain masuk Islam, melainkan pernyataan filosofis bahwa iman sejati hanya lahir dari kebebasan batin. Dengan demikian, Islam mengakui eksistensi nurani sebagai dasar moralitas yang otonom dalam diri manusia.
Kebebasan Nurani dalam Perspektif Sosial dan Politik
Dalam kehidupan sosial, kebebasan nurani berperan menjaga pluralitas dan mencegah dominasi kebenaran tunggal. Menurut Jrgen Habermas (1984) dalam teori communicative action, masyarakat demokratis hanya dapat hidup sehat bila setiap individu memiliki ruang bebas untuk mengartikulasikan pandangan moralnya tanpa takut dikekang kekuasaan.