Kekurangan Tidak Mengamalkan Ilmu
Kategori: Pendidikan Islam
Ilmu dalam pandangan Islam bukan sekadar pengetahuan rasional, tetapi cahaya yang menerangi hati dan mendorong amal. Ketika ilmu berhenti di kepala tanpa menggerakkan tindakan, ia kehilangan ruhnya. Maka, kekurangan tidak mengamalkan ilmu bukan hanya kerugian pribadi, melainkan kerusakan moral dan sosial yang mendalam.
1. Ilmu Tanpa Amal: Cahaya yang Padam
Rasulullah berdoa,
 "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat."
(HR. Muslim)
Doa ini menegaskan bahwa ilmu yang tidak diamalkan menjadi sumber bahaya spiritual. Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menyebutnya sebagai ilmu yang terpisah dari amal ilmu yang melahirkan kesombongan intelektual dan kemunafikan moral (Mift Dr al-Sadah, 1997).
2. Beban Moral di Hari Pembalasan
Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar tanggung jawabnya. Rasulullah bersabda:
 "Orang yang paling keras siksanya di hari kiamat adalah alim yang ilmunya tidak bermanfaat."
(HR. Thabrani)
Imam al-Ghazali menggambarkan orang berilmu tapi tidak beramal seperti "orang sakit yang memegang obat, tapi tak meminumnya." Ilmunya hanya menjadi teori yang menipu diri sendiri (Iy' 'Ulm al-Dn, 1998).
3. Krisis Etika dan Hilangnya Teladan
Allah menegur keras mereka yang hanya berkata tapi tak berbuat:
 "Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan?"
(QS. Ash-Shaff: 2 -3)
Ketika ucapan dan perbuatan terpisah, lahir generasi yang fasih berbicara tapi miskin keteladanan. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut keadaan ini sebagai loss of adab hilangnya kedisiplinan moral dalam praktik ilmu (Islam and Secularism, 1980).
4. Ilmu Tanpa Amal: Ketegangan Batin dan Kekerasan Hati
Secara psikologis, mengetahui kebenaran namun tidak bertindak menimbulkan cognitive dissonance ketegangan batin antara tahu dan tidak melakukan (Festinger, 1957). Dalam bahasa ulama, inilah tanda kerasnya hati (qaswah al-qalb).
Ibn Rajab al-Hanbali menulis, "Ilmu yang tidak melahirkan rasa takut kepada Allah adalah ilmu yang tidak bermanfaat" (Jmi' al-'Ulm wa al-ikam, 2004).
5. Dampak Sosial dan Politik
Ilmu tanpa amal melahirkan dua bencana sosial: hilangnya legitimasi moral dan normalisasi penyimpangan. Tokoh yang tahu kebenaran tetapi tidak menegakkannya menjadikan masyarakat kehilangan arah nilai. Ismail Raji al-Faruqi memperingatkan, "Ketika ilmu terpisah dari iman, ia melahirkan peradaban canggih tetapi hampa makna." (Islamization of Knowledge, 1982)
6. Akar Masalah
Menurut Al-Ghazali dan Ibn Qayyim, penyebab utama tidak diamalkannya ilmu antara lain:
Kesombongan intelektual: merasa cukup dengan pengetahuan.
Cinta dunia: ilmu dijadikan alat mencari posisi, bukan kebenaran.
Lemahnya iman: tahu larangan tapi tak takut melanggarnya.
Lingkungan yang permisif: amal tak dianggap penting.
Pendidikan tanpa penghayatan: mengejar hafalan, bukan transformasi diri.
7. Jalan Pemulihan
Ulama menawarkan langkah konkret:
1. Tazkiyatun nafs  sucikan niat agar ilm9u menjadi ibadah.
2. Tarbiyah amal  biasakan praktik nyata dari setiap ilmu.
3. Refleksi harian (muhasabah) Â evaluasi sejauh mana ilmu diamalkan.
4. Lingkungan amal  bergabung dengan komunitas yang menegakkan konsistensi.
5. Mengajarkan ilmu dengan teladan, bukan sekadar kata.
Imam Ibn Khaldun menegaskan: ilmu hanya hidup bila dibiasakan dalam tindakan (Muqaddimah).
8. Penutup
Ilmu tanpa amal adalah kebohongan yang berpenampilan mulia. Ia menipu pelakunya dan merusak masyarakatnya. Karena itu, marilah menjadikan ilmu bukan sekadar untuk diketahui, tetapi untuk dihidupi.
 "Barang siapa beramal sesuai ilmunya, Allah akan memberinya ilmu yang belum ia ketahui."
(Utsman bin Affan r.a., dalam Siyar A'lm al-Nubal')
Ilmu sejati bukan pada banyaknya hafalan, tapi pada keberanian untuk mengamalkan. Di sanalah letak kemuliaan manusia dan cahaya Islam yang sejati.
 Referensi
1. Al-Ghazali, Iy' 'Ulm al-Dn. Beirut: Dr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1998.
2. Ibn al-Qayyim, Mift Dr al-Sadah. Riyadh: Dr Ibn Hazm, 1997.
3. Ibn Rajab al-Hanbali, Jmi' al-'Ulm wa al-ikam. Kairo: Maktabah al-Iman, 2004.
4. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ABIM, 1980.
5. Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge. Washington: IIIT, 1982.
6. Leon Festinger, A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford: Stanford University Press, 1957.
7. Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr, 2001.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI