Mengapa Sebagian Orang Menolak Syariat Islam: Analisis Sosial, Politik, dan Psikologis
Syariat Islam merupakan pedoman hidup yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis. Namun, di berbagai belahan dunia, terdapat fenomena penolakan bahkan kebencian terhadap syariat. Fenomena ini bukan sekadar antipati religius, melainkan hasil interaksi kompleks antara faktor politik, sosial, psikologis, budaya, dan media. Beberapa pihak juga menimbulkan sentimen atau pilihan sikap terhadap Islam secara lebih luas, tergantung konteks sosial dan pengalaman mereka.
1. Faktor Historis dan Politik
Pengaruh Kolonialisme:
Banyak negara Muslim pernah dijajah, di mana hukum sekuler diperkenalkan sebagai alat modernisasi. Hal ini membuat syariat dianggap kuno atau menghambat pembangunan (Lapidus, 2002).
Politik Kontemporer:
Elit politik sekuler kadang menolak syariat karena dianggap mengurangi kontrol politik dan legitimasi hukum negara (Esposito, 2011).
2. Faktor Sosial dan Budaya
Modernitas dan Globalisasi:
Masyarakat urban menilai syariat sebagai pembatas gaya hidup modern (Eickelman & Piscatori, 1996).
Persepsi Ketidakadilan Gender:
Beberapa aturan syariat terkait perempuan, seperti warisan dan poligami, menimbulkan kritik dari kelompok feminis (Moghadam, 2003).
3. Faktor Psikologis
Kehilangan Kebebasan Individu:
Syariat menekankan norma kolektif, yang dapat bertentangan dengan nilai-nilai liberal dan individualistis (Tajfel & Turner, 1979).
Trauma atau Pengalaman Negatif:
Kasus implementasi hukum syariat yang keras atau disalahgunakan dapat menimbulkan antipati terhadap sistem secara keseluruhan.
4. Faktor Media dan Representasi
Media Massa dan Sosial:
Liputan media yang menyoroti kekerasan atau ekstremisme terkait syariat memperkuat stereotip negatif (Saeed, 2007).
Kurangnya Edukasi Publik:
Banyak orang hanya mengetahui sebagian kecil kasus, sehingga resistensi bersifat parsial dan emosional.
5. Konflik Nilai
Sekuler vs Religius:
Syariat berbasis nilai moral agama, sementara masyarakat modern menekankan rasionalitas sekuler (Casanova, 1994).
Individualisme vs Kolektivisme:
Konflik antara kebebasan personal dan norma sosial kolektif menjadi sumber antipati terhadap syariat.
Kesimpulan
1. Penolakan terhadap syariat bersifat multidimensional: politik, sosial, psikologis, budaya, dan media.
2. Resistensi muncul karena konflik nilai antara modernitas/liberalisme dan norma agama.
3. Pemahaman ilmiah penting agar penolakan tidak hanya dilihat sebagai antipati religius, tetapi sebagai fenomena sosial-politik kompleks.
4. Dalam konteks masyarakat plural, terdapat ruang bagi harmonisasi antara prinsip syariat dan nilai-nilai universal, membangun jembatan antara agama Islam dan komunitas lain.
Referensi
1. Casanova, J. (1994). Public Religions in the Modern World. University of Chicago Press.
2. Eickelman, D. F., & Piscatori, J. (1996). Muslim Politics. Princeton University Press.
3. Esposito, J. L. (2011). Islam and Politics. Syracuse University Press.
4. Lapidus, I. M. (2002). A History of Islamic Societies. Cambridge University Press.
5. Moghadam, V. M. (2003). Modernizing Women: Gender and Social Change in the Middle East. Lynne Rienner Publishers.
6. Saeed, A. (2007). Media, Racism and Islamophobia: The Representation of Islam and Muslims in the Media. SAGE.
7. Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An Integrative Theory of Intergroup Conflict. Brooks/Cole.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI