Radikalisme dan Islamofobia kini menjadi dua wajah dari persoalan global yang saling berkaitan. Radikalisme lahir dari tafsir agama yang sempit, sementara Islamofobia tumbuh dari ketakutan yang tidak berdasar terhadap umat Islam. Keduanya membentuk lingkaran kebencian: aksi radikal segelintir orang memperkuat stigma, sedangkan diskriminasi yang lahir dari Islamofobia memunculkan perasaan terasing yang justru bisa mendorong radikalisasi baru.
Seperti diingatkan oleh cendekiawan Muslim Azyumardi Azra (2017), "radikalisme bukanlah wajah sejati Islam, melainkan distorsi akibat pemahaman yang terlepas dari konteks sosial dan sejarah." Sementara itu, Pew Research Center (2019) mencatat bahwa persepsi negatif terhadap Muslim di Eropa meningkat setelah aksi terorisme, meskipun mayoritas umat Islam hidup damai.
Radikalisme: Dari Kekecewaan hingga Kekerasan
Radikalisme sering kali tidak lahir di ruang hampa. UNDP (2016) menegaskan bahwa ketidakadilan, marginalisasi, dan krisis identitas adalah faktor yang menyuburkannya. Dalam konteks agama, radikalisme muncul ketika ajaran dipahami secara hitam-putih, menolak keberagaman, dan mengklaim kebenaran tunggal.
Padahal, jihad yang sering disalahpahami oleh kelompok radikal sejatinya bermakna luas: perjuangan dalam menegakkan kebaikan, bukan sekadar perang. Penyempitan makna inilah yang berbahaya, karena menjadikan agama sebagai legitimasi kekerasan.
Islamofobia: Ketakutan yang Dibentuk
Islamofobia sendiri adalah fenomena sosial yang dibentuk oleh narasi politik, trauma sejarah, dan bias media. Media kerap menampilkan Islam secara simplistis: satu tindakan radikal dianggap mewakili seluruh umat. Hal ini melahirkan diskriminasi, kebijakan imigrasi yang tidak adil, hingga ujaran kebencian di ruang publik.
Seorang akademisi asal AS, Edward Said (1997), pernah menegaskan bahwa Islam sering diposisikan sebagai "the Other", musuh imajiner yang selalu dicurigai. Pandangan semacam ini memperdalam jurang perbedaan, alih alih menciptakan jembatan pengertian.
Dua Fenomena yang Saling Menguatkan
Radikalisme yang dilakukan minoritas Muslim sering kali dijadikan alasan untuk memperkuat Islamofobia. Sebaliknya, Islamofobia yang menekan umat Islam justru melahirkan rasa keterasingan yang bisa menumbuhkan radikalisasi baru.
Inilah paradoks yang berbahaya: kedua fenomena ini saling memperkuat satu sama lain, menciptakan lingkaran kebencian yang sulit diputus jika tidak ada upaya serius dari berbagai pihak.
Jalan Tengah: Islam Wasathiyah
Indonesia memiliki warisan berharga: Islam Wasathiyah atau Islam moderat. Konsep ini menekankan keseimbangan, toleransi, dan kasih sayang. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua ormas terbesar di Indonesia, selama ini menjadi garda terdepan dalam menyebarkan Islam yang damai dan inklusif.
Beberapa langkah strategis yang perlu diperkuat:
1. Pendidikan agama moderat -- menanamkan Islam rahmatan lil 'alamin sejak dini.
2. Dialog lintas iman -- membangun komunikasi antaragama untuk menghapus prasangka.
3. Keadilan sosial menutup celah ketidakadilan yang memicu radikalisasi.
4. Media berimbang -- menolak generalisasi, menghadirkan narasi positif tentang umat Islam.
5. Kerja sama global -- mendorong regulasi internasional yang menolak ujaran kebencian dan diskriminasi.
Penutup
Radikalisme dan Islamofobia ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama berbahaya. Jika dibiarkan, keduanya hanya akan melahirkan konflik tanpa akhir. Islam sebagai agama rahmat sejatinya hadir untuk menghadirkan kedamaian, bukan kebencian.
Al-Qur'an menegaskan: "Sesungguhnya Kami mengutus engkau (Muhammad) hanya sebagai rahmat bagi seluruh alam" (QS. Al-Anbiya: 107). Pesan ini menjadi pengingat bahwa misi utama Islam adalah menghadirkan rahmat, bukan menciptakan ketakutan.
Memutus lingkaran kebencian berarti mengembalikan wajah sejati Islam: agama yang moderat, penuh kasih, dan membawa harapan bagi peradaban dunia.
Referensi
UNDP. (2016). Preventing Violent Extremism through Promoting Inclusive Development, Tolerance and Respect for Diversity.
Pew Research Center. (2019). Attitudes toward Muslims and Islam in Western Europe.
Azra, A. (2017). Islam Wasathiyah dan Peradaban Dunia.
Said, E. (1997). Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI