Duel Aroma di Kedai Senja: Kopi vs Teh, Siapa yang Paling Nusantara?
Sore itu, di sebuah kafe hipster yang jendelanya menghadap kemacetan Jakarta (alias "tontonan gratis" sambil ngopi), dua gelas duduk bersebelahan seperti mantan yang dipaksa reunion di acara keluarga.
Di sebelah kiri, Kopi Nusantara (KN):Â hitam pekat, aroma kuat, aura "gue baru presentasi ke investor".
Di sebelah kanan, Â Teh Nusantara (TN): cokelat bening, asapnya lembut kayak doa nenek, vibe-nya "gue udah ikhlas dari kemarin".
Keduanya menyandang label "Nusantara" dengan kebanggaan level influencer lokal yang baru dapat endorsement dari UMKM.
KN (menghirup aromanya sendiri sambil pose ala CEO):
"Wah, ini Gayo, bro. Aromanya itu... kayak rapat direksi, tapi di tengah hutan. Pahit? Iya. Tapi pahitnya meaningful. Kami, kopi, adalah bahan bakar peradaban modern! Tanpa kami, manusia cuma bisa nge-dream di kasur sampe jam 11 siang."
TN (mengibaskan uapnya dengan gaya ratu keraton):
"Please, Kopi. Aromamu itu kayak deadline yang ngejar-ngejar. Stress banget. Kami teh? Kami minuman para bijak bestari. Raja-raja dulu nggak minum kopi pas mau ambil keputusan penting, mereka minum teh, duduk di pendopo, mikirin nasib rakyat... atau mungkin cuma mikirin menu makan malam. Tapi tetap, elegant."
KN (mata melotot kayak baru lihat harga kopi single origin):
"Elegant? Kau itu minuman penutup! Minuman 'gue udah nyerah'! Kami yang bikin ide brilian lahi, Â dari startup sampai meme lucu di X! Kau cuma jadi teman nasi goreng jam 2 pagi."
TN (sambil nyeruput dirinya sendiri):
"Justru itu kelebihanku! Aku nggak perlu latte art, nggak perlu barista berjanggut kayak Sinterklas, nggak perlu biji kopi yang dipetik oleh perawan desa pakai sarung tangan sutra. Cukup celupin kantong, tuang air panas, voil, budaya Nusantara siap saji! Dari Sabang sampai Merauke, semua rumah punya teh. Bahkan di warung pinggir jalan yang listriknya mati hidup, teh tetap ada."
KN (membela diri sambil gelisah):
"Tapi kami yang jadi duta Nusantara di luar negeri! Di Berlin, di Tokyo, di Melbourne, orang rela bayar 80 ribu buat secangkir kopi Toraja! Kami specialty coffee, Teh! Kami punya terroir, punya flavor notes, punya komunitas Instagram yang saling roast biji kopi masing-masing kayak gosip seleb!"
TN (ketawa kecil):
"Komunitas? Itu namanya toxic fandom, Kopi. Kalian ribut mana yang lebih floral, mana yang lebih chocolaty, mana yang aftertaste-nya tahan 3 jam... Padahal, semua itu cuma kafein yang bikin jantung deg-degan dan dompet kering. Kami teh? Kami nggak perlu aftertaste. Kami langsung afterpeace."
KN (terdiam sejenak, lalu mengakui dengan suara pelan):
"...Tapi kau emang selalu ada. Di setiap acara kampung, di setiap meja makan, bahkan di mobil pick-up tukang sayur. Kau... merakyat banget."