Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[ekoteologi] Dari Fransiskus ke Fransiskus, Diteruskan Leo XIV: Kidung yang Tak Pernah Berhenti

5 Oktober 2025   09:04 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:04 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Santo Fransiskus Asisi, foto: marsudirini)

Dari Fransiskus ke Fransiskus, Diteruskan Leo XIV: Kidung yang Tak Pernah Berhenti

Delapan ratus tahun lalu, di sebuah biara sunyi di Assisi, seorang lelaki buta menjelang akhir hidupnya akibat penyakit trakoma dan sakit parah menyusun kidung yang tak biasa: KIDUNG MATAHARI. Ia tak meminta kekuasaan, tak mengutuk musuh, apalagi memohon harta. Ia justru menyapa matahari sebagai saudara, bulan sebagai saudari, angin, air, api, bahkan kematian, semuanya ia panggil keluarga. Kidung Matahari bukan sekadar puisi. Ini adalah nyanyian persaudaraan kosmik, sebuah visi radikal yang mengatakan: alam bukan milik kita untuk dikuasai, melainkan anugerah untuk dirangkul.

Delapan abad berlalu. Bumi kita (Rumah Kita Bersama) kini terluka. Hutan dibabat, laut dipenuhi plastik, udara beracun, dan jutaan orang kehilangan tanah karena banjir, kekeringan, atau perang. Di tengah krisis ini, kidung itu kembali bergema. Bukan dari biara, tapi dari Vatikan.

Pada 2015, seorang Paus dari ujung selatan dunia mengambil nama Fransiskus, sebuah penghormatan langsung kepada sang santo dari Assisi. Ia menulis Laudato Si', ensiklik yang membuka mata dunia: krisis iklim bukan hanya soal lingkungan, tapi soal keadilan, solidaritas, dan dosa terhadap sesama dan ciptaan. Ia menyerukan "pertobatan ekologis", bukan hanya perubahan kebijakan, tapi perubahan hati.

(sumber: humasindonesia)
(sumber: humasindonesia)

Kini, di tahun 2025, saat kita merayakan 800 tahun Kidung Matahari dan 10 tahun Laudato Si', tongkat estafet itu diserahkan kepada pemimpin baru Gereja Katolik: Paus Leo XIV.

Terpilih dalam konklaf pada awal Mei 2025, Kardinal Robert Francis Prevost, O.S.A. (putra Chicago yang lama menjadi misionaris di Peru) muncul di balkon Basilika Santo Petrus pada 8 Mei 2025 sebagai Paus pertama dari Amerika Serikat. Pemilihan nama Leo bagi saya pribadi mengingatkan bahwa Gereja harus selalu berpihak pada yang terpinggirkan, menjaga perdamaian, dan memperjuangkan keadilan, seperti Leo Agung yang membujuk Attila, dan Leo XIII yang membela hak pekerja di tengah Revolusi Industri.

Sejak hari itu, Paus Leo XIV tak hanya melanjutkan warisan dua Fransiskus (santo dari Assisi dan Paus dari Buenos Aires) tapi menghidupkannya dalam konteks zaman kita. Ia membawa semangat Augustinian: bahwa kasih sejati harus nyata dalam keadilan, dan keadilan sejati lahir dari kasih yang mendalam.

Ketika Hari Doa Sedunia untuk Perawatan Ciptaan tiba pada 1 September 2025, Paus Leo XIV mengingatkan umat:

"Dalam semangat Kidung Matahari yang berusia delapan abad, kita dipanggil bukan hanya untuk merenung, tetapi untuk bertindak. Alam semesta memantulkan wajah Yesus Kristus. Merusak ciptaan adalah luka bagi Sang Pencipta." 

Ia pun memperkenalkan Misa Khusus untuk Perawatan Ciptaan, langkah bersejarah yang memungkinkan umat Katolik merayakan kepedulian terhadap bumi dalam Ekaristi, bukan hanya doa ekumenis. Tema yang dipilihnya, "Benih-benih Perdamaian dan Pengharapan", adalah penghormatan langsung kepada Paus Fransiskus, sekaligus seruan untuk tidak menyerah pada keputusasaan.

Bagi Paus Leo, ekologi tak bisa dipisahkan dari kemanusiaan. Dalam Konferensi Internasional tentang Pengungsi dan Migran di Roma, Oktober 2025, ia menegaskan:

"Jeritan bumi dan jeritan pengungsi adalah satu. Mereka yang kehilangan tanah karena iklim ekstrem adalah saudara kita yang tak bersuara." 

Ia memperingatkan bahaya baru: "globalisasi ketidakberdayaan", sikap pasif yang membuat kita percaya "tak ada yang bisa dilakukan". Lawannya, katanya, adalah budaya rekonsiliasi: bertemu, mendengar, menyembuhkan luka, dan berjalan bersama.

Puncaknya terjadi pada 4 Oktober 2025. Di hari raya Santo Fransiskus Asisi, Paus Leo XIV berdoa di makam sang santo, lalu kembali ke Vatikan untuk memimpin "Celebration of Hope" bersama ilmuwan, pemuda, dan pemimpin agama. Di sana, ia berkata:

"Fransiskus menyanyikan kidung. Fransiskus menulis ensiklik. Kini, tugas kita adalah mewujudkannya, dengan tangan yang menanam, kaki yang berjalan bersama yang terbuang, dan hati yang tak pernah berhenti berharap." 

(sumber: vaticannews)
(sumber: vaticannews)

Delapan abad telah berlalu, tapi Kidung Matahari belum berhenti. Ia kini menyanyi dalam langkah para petani yang memperjuangkan tanah, dalam suara pemuda yang menuntut perubahan, dalam doa ibu-ibu di pesisir yang khawatir laut akan menelan rumah mereka.

Dan kini, di bawah kepemimpinan Paus Leo XIV (yang memilih nama Leo untuk menghormati perdamaian Leo Agung dan keadilan sosial Leo XIII) kidung itu menjadi seruan yang tak bisa ditunda: Rumah Kita Bersama bukan warisan dari nenek moyang, melainkan pinjaman dari generasi mendatang.

Maka, mari kita nyanyikan kembali Kidung Matahari, bukan hanya dengan bibir, tapi dengan tangan yang menanam pohon, kaki yang berjalan ringan di bumi, dan hati yang terbuka untuk merangkul air, tanah, burung, dan sesama manusia sebagai saudara.

Sebab dalam kidung itu tersimpan rahasia terdalam iman kita: Mencintai ciptaan adalah cara paling otentik untuk mencintai Sang Pencipta.

Dan dari Fransiskus ke Fransiskus, kini diteruskan oleh Leo XIV, panggilan itu jelas:
Selamatkan Rumah Kita Bersama. Dengan kasih. Dengan keadilan. Dengan harapan yang tak pernah padam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun