Ia mengingat ayahnya, seorang guru SMA yang selalu berkata: "Lebih baik dianggap kasar tapi jujur, daripada manis tapi palsu." Dulu ia menganggap itu kuno. Sekarang, ia merindukan kepolosan itu.
Yang paling menyakitkan bukan kehilangan jabatan karena mungkin besok ia akan dipanggil ke ruang HR untuk "evaluasi ulang peran". Yang paling menyakitkan adalah kesadaran bahwa selama ini, ia telah mengkhianati dirinya sendiri. Ia menjual suara hatinya demi pujian sesaat. Ia menggadaikan integritasnya untuk kursi yang kini terasa seperti singgasana palsu.
Di luar jendela, hujan mulai turun. Rendra menatap pantulan wajahnya di kaca, lelah, tua sebelum waktunya, dan asing. Ia bertanya pada bayangannya:
"Siapa kamu sebenarnya?"
Tak ada jawaban. Hanya hujan yang terus jatuh, seolah mencoba membersihkan lapisan gula yang telah mengeras di wajahnya selama bertahun-tahun.
Dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Rendra menangis, bukan karena kehilangan jabatan, tapi karena kehilangan dirinya sendiri.
Pujian yang dulu ia taburkan begitu murah, kini tak ada yang mau mengembalikannya bahkan untuk dirinya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI