Hanya 4.711: Ketika Pejabat Mengubah Nyawa Jadi Angka dan Rakyat Jadi Statistik
Ada kalimat yang tak perlu selesai untuk menyadarkan kita: "Hanya 4.711 porsi dari 1 miliar porsi."Â Begitu Kepala BGN (Badan Gizi Nasional) bicara, ratusan komentar meledak di media sosial. Bukan karena angkanya salah, tapi karena kata "hanya" itu menusuk seperti pisau. Seolah 4.711 orang yang keracunan makanan bukan manusia, melainkan sampah data yang bisa diabaikan.
Psikologi yang Dibunuh oleh Angka
Kita semua pernah merasakan ini: ketika mendengar "1 juta korban perang", hati kita datar. Tapi jika melihat foto seorang anak yang kelaparan, kita menangis. Inilah statistical numbing, otak kita lumpuh saat dihadapkan pada skala besar. Tapi bedanya, kita sebagai rakyat boleh lumpuh. Pejabat tidak boleh.
Kepala BGN justru memperparah lumpuh itu dengan kata "hanya". Ia tak hanya gagal memahami psikologi massa, tapi sengaja menghilangkan wajah manusia di balik angka. 4.711 bukan "0,00047%". Itu adalah: Satu, 4.711 ibu yang berlari ke rumah sakit sambil memeluk anak demam. Dua, 4.711 keluarga yang menghabiskan tabungan untuk obat. Dan Tiga, 4.711 cerita yang tak akan pernah masuk laporan keuangan negara.
Ini bukan sekadar "salah komunikasi". Ini moral disengagement ala Albert Bandura: pejabat sengaja memutus ikatan emosional dengan korban, lalu membungkusnya dalam jargon teknis. Seperti dokter Nazi yang menyebut korban Aktion T4 sebagai "biaya operasional", hanya angka, bukan manusia.
"Ketika negara mengatakan 'hanya', ia sedang berbisik: 'Kematianmu tidak penting karena orang lain selamat.' Itu bukan kebijakan. Itu pengakuan: kami sudah kehilangan jiwa."
Birokrasi yang Memakan Empati
Di Indonesia, kita punya tradisi "musyawarah mufakat" dan "gotong royong", nilai yang mengajarkan: tak ada yang boleh tertinggal. Tapi lihatlah bagaimana birokrasi modern mengubur nilai itu dengan logika mesin: Satu, "Efisiensi" diukur dari berapa banyak yang selamat, bukan berapa banyak yang terluka. Dan Dua, "Keberhasilan" dihitung dari angka makro, bukan dari air mata ibu penjual gorengan yang anaknya keracunan.
Ini bukan kebetulan. Dalam bukunya The Interpretation of Cultures, Clifford Geertz menjelaskan: Indonesia adalah masyarakat dengan "power distance" tinggi, di mana pejabat ditempatkan sebagai "dewa kecil" yang tak perlu mendengar rakyat. Kepala BGN bicara seperti tuan feodal yang berkata: "Rakyatku boleh mati, asal negaraku gemerlap."
Dan inilah bahayanya: Satu, Saat korban keracunan dianggap "hanya 4.711", birokrat akan terus mengulangi kesalahan. Dua, Saat rakyat kehilangan kepercayaan, mereka tak lagi lapor ke dinas, tapi ke jalan raya dengan spanduk protes. Dan Tiga, Saat negara mengabaikan minoritas, ia sedang merakit bom waktu yang akan meledak di masa depan.
Contoh nyata? Kasus Lapindo 2006. Saat korban lumpur dianggap "hanya ratusan kepala keluarga", pemerintah mengabaikan mereka. Hasilnya? 17 tahun kemudian, luka itu masih berdarah dan kepercayaan pada negara sudah hancur.