Jangan Biarkan Sejarah Jadi Kuburan Sunyi:
Puisi G30S dan Tanggung Jawab Generasi Z atas Kebenaran yang Terkubur
[Semacam sinopsis mengapa saya menulis artikel ini: Ada dua keprihatinan yang mendasari saya menulis tentang sejarah Orde Baru yang endingnya tidak jelas (namun kini sudah mulai bangkita kembali). Pertama, Pada masa orde baru, setiap menjelang 30 September ramai diputarkan film tentang heroisme Jenderal Suharto dalam menumpas PKI. Sejak Reformasi, semangat itu mulai memudar bahkan tuduhan-tuduhan kepada yang berseberangan sebagai antek komunis mulai jarang terdengar. Ketakutan aparat pada buku-buku seperti Komunisme, Karl Marx pun mulai sirna, mulai jarang ada pembredelan buku, sampai terdengar lagi baru-baru ini ada yang mulai merazia buku tulisan Romo Magnis tentang Marx. Buku itu bukan mendewakan Marx, tetapi kritik terhadap melalui pendekatan filosofis. Para pembenci Marx mestinya membaca buku itu, bukan melarangnya. Maka di sinilah pentingnya pejabat membaca isi buku, bukan merazia buku hanya dengan melihat judulnya.
Kedua, sudah saatnya kita memberikan penjelasan historis yang jujur atas berbagai persoalan masa lalu yang dicatat oleh siapa yang menang, bukan oleh kebenaran itu sendiri. Melalui tulisan ini, saya hendak mengulas secara lebih dalam puisi yang sudah saya posting tadi pagi. Penjelasan ini menjadi sebuah panggilan untuk mengajak kita (generasi 65 dan sisa-sisanya) untuk menyingkap dan mengungkapkan sejarah secara benar.]
****
Di tengah arus informasi yang deras dan narasi sejarah yang masih diperebutkan, sebuah puisi lima bait tentang G30S muncul bukan sekadar sebagai karya sastra, melainkan sebagai seruan moral. Puisi tadi mengajak kita, terutama Generasi Z, untuk tidak hanya mengingat, tapi menggali kembali kebenaran yang sengaja dikubur. Lalu, apa yang seharusnya dilakukan generasi muda yang lahir jauh setelah Lubang Buaya, ketika sejarah diajarkan sebagai dogma, bukan dialog?
Ketika Nama Menjadi Tanda Tanya
Di malam yang menggigil, bumi menelan tujuh nama
bukan pahlawan, bukan pengkhianat,
tapi tanda tanya yang dikubur dalam darah
dan dibalut bendera kebohongan berlapis emas.
Bait pembuka ini langsung meruntuhkan dikotomi hitam-putih yang selama puluhan tahun dipaksakan oleh rezim Orde Baru: "pahlawan revolusi" vs "pengkhianat komunis." Saya (yang bukan siapa-siapa ini) menolak kategorisasi moral yang simplistis. Tujuh perwira (termasuk Ahmad Yani, Suprapto, dan S. Parman) bukan sekadar korban suci, melainkan simbol ambiguitas politik yang kompleks. Mereka adalah bagian dari pertarungan kekuasaan antara Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat. Mengapa hanya mereka yang dikorbankan sementara sebagian jenderal bisa lolos? Apa sesungguhnya yang terjadi? Lagi-lagi hanya tanya lepas tanpa jawaban pasti.
Yang paling menusuk adalah metafora "bendera kebohongan berlapis emas", gambaran sempurna atas narasi nasionalisme palsu yang digunakan untuk melegitimasi kekerasan. Di sini, puisi mengajak pembaca untuk tidak menerima sejarah begitu saja, melainkan mempertanyakan: Siapa yang menulis kisah ini? Untuk siapa kebohongan itu dibangun?
Untuk Generasi Z, jangan puas dengan ringkasan sejarah di buku teks atau cuplikan film lama. Gali sumber primer, visum et repertum, dokumen CIA yang terbuka, kesaksian korban. Gunakan literasi digital bukan hanya untuk scroll, tapi untuk verifikasi.