Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[refleksi] Bunda Maria di Gunung La Salette dan Pesannya di Era Digital

19 September 2025   09:30 Diperbarui: 19 September 2025   12:54 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunda Maria di Gunung La Salette dan Pesannya di Era Digital

Hari ini, 179 tahun lalu, tepatnya pada 19 September 1846, Bunda Maria menampakkan diri di Gunung La Salette, Prancis, kepada dua gembala kecil, Melanie Calvat dan Maximin Giraud. Dalam penampakan itu, Bunda Maria terlihat menangis, suaranya bergetar menyampaikan pesan yang mendalam: "Jika kalian tidak mau bertobat, anak-anak kecil akan jatuh ke lutut, dan orang dewasa ke tanah... Aku adalah Bunda dari Tuhanmu yang Mahakasih." 

Tangisan-Nya bukan sekadar simbol kesedihan, melainkan seruan mendesak untuk rekonkiliasi, pemulihan hubungan manusia dengan Allah, sesama, dan diri sendiri. Pesan ini menjadi fondasi spiritual bagi Kongregasi Misionaris La Salette dan Misionaris Keluarga Kudus, sekaligus menjadi cermin untuk merenungkan tantangan kita di era digital ini.

Bunda Maria: Juru Selamat Rekonkiliasi bagi Misionaris La Salette

Bagi Kongregasi Misionaris La Salette, Bunda Maria di La Salette bukan hanya figur yang menangis, tetapi pengantara kasih Allah yang mengajak manusia kembali ke pangkuan-Nya. Mereka lahir dari panggilan untuk mewartakan pesan rekonkiliasi ini: mengajak umat bertobat dari sikap acuh tak acuh terhadap iman, eksploitasi alam, dan ketidakadilan sosial.

Dalam konteks 1846, pesan Bunda Maria menegur masyarakat yang melupakan Hari Tuhan (Hari Minggu) dan mengucapkan nama Tuhan dengan penuh dusta. Hari ini, misi ini relevan lebih dari sebelumnya, karena rekonkiliasi bukan hanya tentang ritual, tetapi membangun keadilan, kepedulian, dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan.

Bagi para misionaris, tangisan Bunda Maria mengingatkan mereka untuk menjadi "saksi kasih yang tak kenal lelah" di tengah dunia yang terpecah. Mereka tidak hanya berkhotbah, tetapi hadir di garda depan konflik, kemiskinan, dan keterasingan spiritual. Seperti Bunda Maria yang turun dari surga untuk menyapa dua anak kecil yang sederhana, mereka percaya bahwa rekonkiliasi dimulai dari hal-hal kecil: senyum, pendengaran yang tulus, dan keberanian mengakui kesalahan.

Bunda Maria dan Misionaris Keluarga Kudus: Menyemai Kudus dalam Keluarga

Salah satu imam La Salette, Pater Jean-Baptiste Berthier, terinspirasi oleh pesan La Salette untuk mendirikan Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (1841). Baginya, Keluarga Kudus (Yesus, Maria, Yusuf) adalah model rekonkiliasi yang hidup. Di tengah krisis nilai keluarga pada abad ke-19, seperti perceraian, kekerasan, dan kelalaian akan doa, Berthier melihat keluarga sebagai "gereja domestik" tempat kasih Allah diwujudkan.

Bunda Maria di La Salette, yang juga menjadi Ibu dalam Keluarga Kudus, mengajarkan bahwa rekonkiliasi dimulai dari rumah. Bagi Misionaris Keluarga Kudus, pesan ini berarti:

Keluarga harus menjadi tempat pengampunan tumbuh, di mana konflik diselesaikan dengan cinta, bukan amarah.

Orang tua adalah pewarta iman pertama yang mengajarkan anak-anak untuk menghormati Sabat (istirahat rohani) dan menjaga kekudusan kata-kata.

Seperti Maria yang "menyimpan segala perkara dan merenungkannya di hati" (Luk 2:19), keluarga diajak membangun keheningan untuk mendengar suara Allah di tengah hiruk-pikuk dunia.

(sumber: MSF Jawa)
(sumber: MSF Jawa)

Pesan Bunda Maria untuk Kita di Era Serba Digital

Di zaman di mana layar gawai menggantikan tatap muka, algoritma mengatur emosi, dan "likes" menjadi ukuran harga diri, pesan La Salette justru semakin menggema:

Pertama, "Jika kalian tidak bertobat..." Era digital melahirkan dosa-dosa baru: cyberbullying, penyebaran hoaks, kecanduan konten tidak bermutu, hingga penggunaan nama Allah secara sembrono di media sosial. Bunda Maria mengajak kita bertobat dari kebiasaan meremehkan kebenaran dan kekudusan. Sudahkah kita menggunakan teknologi untuk membangun, bukan menghancurkan? Sudahkah kita berani "offline" untuk kembali ke realitas yang utuh?

Kedua, Tangisan-Nya: Seruan untuk Rekonkiliasi Digital. Tangisan Bunda Maria adalah respons atas kerusakan hubungan manusia. Di era ini, rekonkiliasi dimulai dengan: 1) Memaafkan di dunia maya. Menghentikan dendam melalui komentar pedas, memilih dialog daripada blokir. 2) Menjaga Sabat digital. Menetapkan waktu tanpa gawai untuk berkumpul dengan keluarga, berdoa, atau sekadar mendengar desau angin. 3) Menjadi "penenun jaring kasih". Menggunakan media sosial untuk menyebarkan harapan, bukan kebencian, seperti Maria yang menyatukan langit dan bumi.

Ketiga, Keluarga Kudus di Tengah Badai Digital. Bagi keluarga modern, pesan Misionaris Keluarga Kudus adalah keberanian menjadi kontra-arus. Contohnya: 1) Meja makan tanpa gawai, di mana cerita sehari-hari dibagi dengan tatap mata. 2) Mengajarkan anak-anak untuk membedakan "dunia nyata" dan "dunia maya", serta menjaga kekudusan kata-kata baik di chat maupun di kelas. 3) Menjadikan rumah sebagai tempat keheningan yang hidup, di mana doa bersama mengatasi kebisingan notifikasi.

Penutup: Mari Menjadi "La Salette" di Zaman Ini

Bunda Maria di La Salette tidak hanya menangis, Ia juga memberi harapan. Ia menunjukkan buah gandum dan anggur kepada Mlanie dan Maximin, simbol Ekaristi yang memulihkan. Di era digital, kita dipanggil untuk menjadi "buah gandum" yang hancur demi keutuhan sesama:

Pertama, Misionaris La Salette mengajak kita berani mengkritik sistem yang merusak, sekaligus menjadi jembatan pengampunan.

Kedua, Misionaris Keluarga Kudus mengingatkan: keluarga adalah ladang pertama untuk menabur kasih yang tak terdigitalisasi.

Di tengah gemerisik data dan algoritma, marilah kita mendengar kembali bisikan Bunda Maria: "Aku adalah Bunda dari Tuhanmu yang Mahakasih." Kasih-Nya tak pernah error, tak pernah buffering, dan selalu update untuk setiap hati yang rindu pulang. Saatnya kita berhenti menjadi penonton pasif di layar, lalu menjadi pelaku rekonkiliasi di dunia maya, di rumah, dan di jalan-jalan yang kita injak.

La Salette bukan hanya tempat di Prancis, tetapi janji: Allah selalu hadir di tengah tangisan kita, menanti kita untuk kembali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun