Membaca Bacaan Suci di Pagi Hari: Ritual Sederhana yang Mengubah Hati, Pikiran, dan Sekolah
Bayangkan ini: pukul 7 pagi. Siswa-siswa mulai berdatangan ke sekolah. Ada yang masih menguap, ada yang sibuk ngobrol, ada yang cemas karena belum ngerjain PR, dan ada pula yang diam-diam menahan beban emosi dari rumah. Lalu, lonceng berbunyi. Semua diminta duduk tenang. Guru membuka hari dengan senyum hangat, lalu berkata lembut:
"Mari kita mulai hari ini dengan membaca firman Tuhan. Bagi yang Muslim, silakan buka Iqro atau Al-Qur'an. Bagi yang Kristen, mari kita buka Alkitab. Lima belas menit saja. Untuk menenangkan hati, memfokuskan pikiran, dan menyambut hari dengan damai."
Ada sebuah kebiasaan yang menarik di sebuah SMK Kesehatan di Yogyakarta. Bukan sekolah keagamaan, tapi mempunyai kebiasaan yang baik ini. Seminggu tiga kali para siswa yang muslim membaca Iqro dengan didampingi guru (biasanya 5-7 guru), sebagian di kelas bersama wali kelasnya masing-masing. Sedangkan siswa kristiani berkumpul di perpustakaan untuk membaca Alkitab secara bergilir. Dalam satu kesempatan membaca satu bab. Seluruh siswa mendapat kesempatan untuk membaca secara bergiliran. Dan kebiasaan ini dilakukan secara rutin, terpantau dan terbimbing.
Seperti pagi ini anak-anak berkesempatan membaca dari Injil Matius 19:1-30. Setelah baca jika ada waktu cukup sebagai guru saya memberikan sedikit peneguhan, jika waktu tidak cukup maka dengan membacanya secara bergilir per orang dua ayat sudah sangat membantu untuk membiasakan diri.
Sederhana? Ya.
Tapi jangan salah, ritual kecil ini punya kekuatan besar. Lebih dari sekadar kebiasaan religius, membaca bacaan suci di pagi hari sebelum pelajaran dimulai adalah investasi emosional, spiritual, dan intelektual yang dampaknya terasa sepanjang hari bahkan seumur hidup.
Pagi yang Tenang, Hati yang Siap
Kita semua tahu: pagi hari adalah momen penentu. Mood di pagi hari seringkali menentukan bagaimana kita menjalani sisa hari. Begitu juga dengan anak-anak. Jika mereka memulai hari dengan terburu-buru, marah, atau cemas, pelajaran apa pun yang disampaikan guru bisa "mentok" di kepala yang kacau.
Di sinilah peran bacaan suci masuk bukan sebagai beban, tapi sebagai pelabuhan jiwa.
Ayat-ayat Al-Qur'an yang dibaca perlahan, dengan tartil, punya irama yang menenangkan saraf. Surat-surat pendek seperti Al-Fatihah, An-Nas, atau Al-Ikhlas bukan hanya doa, tapi juga "terapi jiwa" yang menurunkan stres dan menaikkan rasa aman (bagi siswa). Di sisi lain, ayat-ayat Alkitab seperti Mazmur 23 ("Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku") atau Filipi 4:6-7 ("Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga...") memberi ketenangan yang sulit dijelaskan dengan logika, tapi nyata dirasakan.
"Bukan soal panjangnya bacaan, tapi kedalaman hati saat membacanya."
Ketika siswa belajar memulai hari dengan tenang, mereka belajar mengatur emosi. Mereka tidak mudah meledak saat dikritik. Tidak cepat menyerah saat gagal. Dan tidak mudah terbawa arus tekanan teman sebaya. Ini bukan kebetulan, ini hasil dari latihan batin yang konsisten.