KEKUASAAN KATA [2]: Merangkul Sesama dengan Cinta, Persaudaraan, dan Saling Memberi
Â
Saya menulis bukan karena punya jawaban.
Saya menulis justru karena saya sedang bertanya.
Pagi ini, saya bangun pukul 04.05 menulis tulisan ini yang sudah kurancang semalam sebelum tidur. Kubuka jendela di samping ruang kerjaku, angin pagi menyentuh pelipis, dan ayam-ayam tetangga ribut menyatakan hari sudah siang, sementara ayam di kandang sendiri di samping rumah masing anteng saja, mereka tidak terprovokosi ayam tetangga.
Saya sudah membuka Kompasiana, membaca tulisan Engkong Felix Tani tentang anak emas dalam Kompasiana. Tentu ada ruang tawa dan canda, namun ada niatan serius di dalamnya: tugas Kompasianer hanya menulis. Saya mungkin termasuk sedikit dari sebagian anak emas yang tidak dapat emas. Tak masalah. Tugas saya bukan untuk mendapatkan emas, karena memang tidak ada transaksi emas di ruang Kompasiana haha.
Selain tumpukan buku-buku di samping kiri saya karena sedang menggarap Biografi dan Naskah Akademik pengusulan Romo Mangunwijaya sebagai Pahlawan Nasional, tentu dalam hati saya terselip rasa ingin tahu yang tak kunjung padam mengapa selama sebulan tak ada satupun naskah saya yang AU (au ah gelap). Di sinilah, di ruang sunyi ini, saya belajar: menulis dengan hati bukan soal gaya bahasa, tapi soal kejujuran napas.
Saya tak perlu memaksa kata-kata menjadi indah. Biarkan mereka apa adanya, seperti air hujan yang jatuh tanpa memilih atap mana yang pantas dibasahi. Kadang kusut. Kadang patah. Kadang terlalu polos. Tapi justru di situlah kekuatannya: ketika kata-kata tak lagi berdandan untuk dipuji, tapi telanjang untuk dipahami.
Membaca fenomena dengan budi, itu yang saya pelajari dari kegagalan. Dari berita yang hanya bicara angka, dari viral yang cuma cari sensasi, dari opini yang lebih mirip teriakan daripada renungan. Saya tak mau jadi penulis yang hanya mengulang kebisingan. Saya ingin jadi penulis yang membaca lebih dalam.
Saat saya membaca tentang anak muda yang bunuh diri karena tekanan medsos, saya tak langsung menyalahkan gadget. Saya bertanya: Di mana ruang aman untuk mereka bercerita?
Saat saya membaca tentang petani yang tanahnya direbut proyek infrastruktur, saya tak hanya melihat "kemajuan". Saya bertanya: Siapa yang sebenarnya maju? Dan siapa yang dikorbankan demi kemajuan itu?
Budi, bagi saya, adalah kecerdasan yang berempati. Bukan otak yang menghakimi, tapi hati yang memahami konteks. Menulis dengan budi berarti menulis dengan tanggung jawab bukan hanya pada fakta, tapi pada manusia di balik fakta itu.
Mendengarkan alam dengan nurani, ini mungkin terdengar romantis, tapi justru inilah yang paling nyata. Alam tak pernah berbohong. Ia tak perlu trending topic untuk memberi pelajaran. Ia cukup diam, lalu kita yang harus belajar mendengar.
Saya belajar dari daun yang jatuh: ia tak protes, tak menuntut, tak meminta dipuji. Ia hanya menyerahkan diri, lalu menjadi pupuk bagi kehidupan baru.
Saya belajar dari sungai: ia tak pernah berhenti mengalir, meski batu menghalangi, meski lumpur mengotori. Ia tetap setia pada tujuannya ke laut lepas.
Saya belajar dari gunung: ia tak perlu bicara keras untuk dihormati. Ia cukup berdiri tegak, dan dunia pun menunduk.
Alam mengajari saya bahwa kekuasaan sejati bukan yang paling keras suaranya, tapi yang paling sabar menunggu. Yang paling setia menemani. Yang paling rendah hati memberi tanpa minta balasan.
Dan ketika saya menulis tentang alam, saya sebenarnya sedang menulis tentang manusia. Karena kita bagian dari alam. Karena kita lupa itu. Karena kita butuh diingatkan (lewat kata-kata) bahwa kita bukan tuan atas bumi, tapi saudara bagi segala yang bernapas.
Merangkul sesama dengan cinta, persaudaraan, dan saling memberi, inilah puncak dari kekuasaan kata. Bukan untuk menguasai, tapi untuk merangkul. Bukan untuk menang, tapi untuk menyatukan.
Saya menulis surat untuk teman yang sedang depresi bukan nasihat, bukan motivasi murahan, hanya cerita kecil tentang kupu-kupu yang salah terbang ke kamar saya, lalu pergi lagi dengan sayap yang masih utuh. Ia balas: "Aku merasa seperti kupu-kupu itu. Masih bisa terbang. Terima kasih Fren sudah datang menemani meski hanya kata."
Saya menulis puisi pendek untuk tukang sampah di depan rumah tentang tangannya yang kasar tapi hatinya yang lembut, tentang senyumnya yang tak pernah absen meski hujan deras. Esoknya, ia bawa pisang goreng buat saya. "Buat penulis kecil yang bikin hari saya berarti." Ini tentu hanya metafora, karena belum tentu tukang sampah pernah membaca tulisan saya. Mana sempat dia. Dia sudah sangat sibuk menolong kita untuk memilah-milah sampah dan membersihkan bumi. Apakah dia pernah membaca Laudato Si? Tidak juga!
Saya menulis catatan harian tentang ibu yang duduk sendiri di bangku taman, matanya berkaca-kaca. Saya tak tanya apa yang terjadi. Saya hanya duduk di sampingnya. Diam. Sampai ia berkata, "Terima kasih. Sudah lama tak ada yang duduk diam begini sama saya." Tentu jawabannya hanyalah sebuah kerinduan dari orang-orang yang merasa sendirian, yang kesepian di tengah kegemerlapan jagat, yang merasa tersisih di tengah persaingan.
Inilah kekuasaan kata yang sesungguhnya:
ketika ia tak lagi berada di layar atau di kertas,
tapi berpindah ke dalam pelukan,
ke dalam senyum,
ke dalam keheningan yang saling mengerti,
saling menggenggam lewat jemari yang tidak bertautan,
tapi lewat senyuman yang terpancar setelah ia membaca: saya hadir untuknya.
Saya tak tahu apakah tulisan saya akan jadi besar.
Tapi saya tahu: tulisan saya bisa jadi penting  bagi satu orang, dua orang, atau bahkan hanya bagi diri saya sendiri.
Karena menulis dengan hati adalah bentuk cinta.
Membaca fenomena dengan budi adalah bentuk keadilan.
Mendengarkan alam dengan nurani adalah bentuk kerendahan hati.
Dan merangkul sesama dengan cinta, persaudaraan, dan saling memberi adalah bentuk doa yang paling nyata.
Saya tak butuh ribuan pembaca.
Cukup satu hati yang merasa: "Oh, jadi aku tidak sendiri."
Itu sudah lebih dari cukup.
Itu sudah kekuasaan yang sesungguhnya.
Esok, saya akan menulis lagi.
Bukan karena ingin terkenal.
Tapi karena ingin tetap manusia.
Manusia yang percaya: di tengah dunia yang semakin keras,
kata-kata lembut adalah revolusi paling damai yang pernah ada.
Sebelum mandi untuk berangkat mengajar pagi ini, saya memposting kekuasaan kata [2] ini. Hendak menjangkau siapapun yang berkenan membaca. Selamat beraktivitas di hari ke-17 bulan September tahun ke duaribu dualima
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI