Sidang Luar Biasa di Alam Baka: Rapat Darurat Munir, Moses Gatotkaca, Wiji Tukul & Pahlawan Reformasi
[Adegan dibuka di sebuah warung kopi langit, di antara awan dan bintang. Meja bundar terbuat dari batu nisan yang didaur ulang (simbol keberlanjutan). Di tengah meja: kopi hitam, rokok kretek (tanpa asap), dan mikrofon tanpa kabel. Tiba-tiba, Munir Said Thalib masuk, membawa tas koper berisi dokumen-dokumen rahasia yang entah kenapa masih bisa di-print di alam sana. Anggota rapat dengan berbagai latar perjuangan mereka semasa hidup merasa sedih dengan situasi Indonesia saat ini. Mereka merasa perjuangan mereka sia-sia. Apalagi yang dulu berjuang bersama mereka kini kehilangan jati diri perjuangan. Mereka mulai cari amankan diri. Soal ideologi perjuangan itu sudah kuno]
Munir (menghela napas):
"Saya baru keluar dari sidang di Mahkamah Surgawi, laporannya: Indonesia lagi panas. Bukan karena perubahan iklim, tapi karena rakyat mau bakar gedung DPR gara-gara tunjangan anggota dewan naik. Lagi-lagi, uang rakyat jadi hak istimewa segelintir orang. Saya pikir, ini bukan kasus HAM, ini kasus hem; hem punya duit terus."
Tiba-tiba, Moses Gatotkaca (korban penembakan di Mrican) muncul dari balik awan dengan dada kanan bolong membawa dengan celemek "Kopi Joni Langit" dan membawa termos besar.
Moses:
"Santai, Mun. Ngopi dulu. Di bumi, anak muda sekarang nggak cuma demo, mereka live TikTok sambil bawa spanduk. Bisa dapat donasi dari fans. Gue dengar ada yang ngomong, 'Ayo kita sahkan UU Perampasan Aset... biar rumah Uya Kuya jadi aset negara!' Padahal Uya Kuya aja nggak nyambung!"
Wiji Thukul muncul, membawa puisi berjudul "Aku Tetap di Sini, Meski Kamu Lupa". Rambutnya makin lebat namun semakin putih, bukan karena uban tapi karena sedih memikirkan negara yang sering buat dia kreatif menulis puisi.
Wiji:
"Kalau dulu kita demo, kita bawa nyawa. Sekarang? Mereka bawa power bank dan selfie stick. Tapi intinya sama: rakyat marah karena dikhianati. Yang beda cuma... dulu penguasa pakai kopiah, sekarang pakai hoodie dan bilang, 'Saya pro-rakyat!' sambil naik jet pribadi."
Masuklah sosok muda dengan kaus bertuliskan "Reformasi atau Mati". Ternyata itu Mas Bejo, mahasiswa 1998 yang ditembak di kaki dan sekarang jadi penjaga gerbang surga.
Mas Bejo:
"Gue rela kena peluru demi reformasi... eh, sekarang reformasi malah direformasi. Mereka ganti namanya jadi 'Reformasi Plus+' katanya ada benefit: tunjangan rumah Rp50 juta, insentif komunikasi, dan free membership gym DPR. Gue nanya, 'Komunikasi sama siapa? Setan?'"
Munir (mengelus dahi):
"Jadi, kita mati-matian lawan rezim otoriter... supaya muncul rezim yang lebih kreatif dalam korupsi? Dulu korupsi sembunyi-sembunyi. Sekarang? Mereka publish anggaran di media, terus bilang, 'Ini transparan!' Padahal transparan buat lihat duitnya lebih gede."
Tiba-tiba, suara dari langit: "SIDANG DARURAT! MASUKAN DARI TOKOH LAIN!"