Bintang Lumpuh: Ketika Koruptor Dimuliakan, Orang Waras Haruskah Berdiam?
Gedung negara itu bercahaya. Sorot lampu spotlight menyapu wajahnya yang kini dihiasi senyum lebar, seolah tak pernah mengubur jejak di balik jeruji besi. Lencana emas berkilauan disematkan di dadanya, bintang jasa yang seharusnya menjadi simbol pengabdian, kini justru menjadi tato kehinaan kolektif.Â
Di barisan belakang, seorang ibu berbaju lusuh menatap dari balik layar televisi. Perutnya keroncongan, sementara anaknya bertanya, "Bu, kenapa orang jahat dikasih hadiah?" Ia hanya diam. Orang waras harus diam saja.
Teater Absurditas: Saat Pengkhianatan Diabadikan sebagai Kebajikan
Penganugerahan bintang jasa kepada mantan narapidana korupsi bukan sekadar kesalahan prosedur, ia adalah upacara penguburan nurani publik. Dalam logika negara hukum, korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanat konstitusi; pelakunya diadili, dihukum, dan diharapkan bertobat. Namun, ketika negara sendiri yang membangkitkan sang koruptor dari kubur moralnya lalu menobatkannya sebagai "pahlawan", terjadi inversi nilai yang mengoyak akal sehat. Bintang jasa (yang semula diperuntukkan bagi mereka yang mengorbankan diri) kini justru diberikan kepada mereka yang mengorbankan rakyat.
Ironi ini bukan fenomena baru. Sejarah Indonesia penuh dengan narasi rehabilitasi selektif terhadap elite korup. Di era Orde Baru, pelaku KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) kerap diangkat sebagai "pembangun". Pasca-Reformasi, meski KPK lahir sebagai benteng antikorupsi, sistem politik justru mengembangkan mekanisme pengampunan berlapis: vonis pengadilan diabaikan, rekam jejak dihapus, dan sang koruptor kembali dipuja sebagai "tokoh berjasa". Contoh nyatanya terlihat ketika sejumlah mantan anggota DPR yang terbukti korup justru mendapat dukungan politik untuk maju kembali dalam pemilu, seolah hukuman penjara hanyalah cuti administratif sebelum kembali ke panggung kekuasaan.
Diamnya Orang Waras: Apatisme sebagai Budaya Bertahan
Mengapa rakyat harus diam? Pertanyaan ini menguak psikopolitik ketakutan yang telah mengakar dalam masyarakat. Diam bukanlah tanda kesadaran, melainkan strategi bertahan di tengah sistem yang memidana kejujuran. Sejarah mencatat, mereka yang bersuara lantang melawan korupsi (seperti aktivis, jurnalis, atau pegawai KPK) sering berakhir dengan kriminalisasi, ancaman, atau bahkan kematian misterius. Dalam kondisi seperti ini, diam menjadi bahasa tubuh orang waras: "Lebih baik hidup dalam kebisuan daripada mati dalam kebenaran."
Namun, kebisuan ini juga lahir dari kelelahan struktural. Rakyat telah terlalu sering disuguhi drama pengadilan koruptor yang berakhir dengan vonis ringan, pengampunan presiden, atau kembalinya sang pelaku ke pusat kekuasaan. Lama-lama, protes pun kehilangan makna. Seperti kata filsuf Slavoj iek, "Masyarakat postmodern hidup dalam keadaan cynical reason, mereka tahu sistem rusak, tapi tetap memainkannya karena percaya tidak ada alternatif." Inilah yang terjadi: rakyat tahu koruptor itu jahat, tahu bintang jasa itu palsu, tapi mereka tetap diam karena yakin suara mereka tak akan mengubah apa-apa. Apatisme bukanlah ketidaktahuan, melainkan pengakuan akan kekalahan.
Bintang yang Tenggelam: Ketika Negara Mengkhianati Makna Penghargaan
Bintang jasa seharusnya menjadi cermin nilai luhur bangsa: kejujuran, pengabdian, dan keadilan. Tapi ketika lencana itu diberikan kepada koruptor, negara telah merampas makna sakral dari simbol tersebut. Ini adalah bentuk degradasi budaya yang lebih berbahaya daripada korupsi itu sendiri. Sebab, korupsi uang bisa dikembalikan; korupsi nilai (ketika kejahatan dianggap kebajikan) akan menghancurkan fondasi moral generasi mendatang.
Anak kecil yang menonton upacara itu di televisi tidak lagi mengerti: Apakah mencuri uang rakyat itu dosa atau jalan menuju kehormatan? Ketika negara sendiri yang mengaburkan batas antara pahlawan dan penjahat, generasi muda akan tumbuh dengan kompas etika yang rusak. Mereka belajar bahwa kekuasaan bukanlah tentang integritas, melainkan tentang kemampuan mengakali sistem. Inilah yang disebut filsuf Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan: kejahatan yang tidak lagi dianggap mengerikan karena telah menjadi bagian dari keseharian.