Data yang Tersandung
Di sebuah desa kecil terpencil, ada seorang kepala desa bernama Pak Lius. Ia dikenal karena selalu tampil dengan baju batik corak kencang, warna-warni, tapi maknanya tak pernah jelas. Suatu hari, ia mengumumkan di panggung bahwa desa akan "berkongsi data" dengan negara tetangga untuk "kepentingan bersama".
"Aduh, datanya cuma tentang siapa aja yang sering beli beras subsidi! Nggak mungkin ngancam HAM," ujarnya sambil menepuk mikrofon usang yang bahkan nggak bisa nyala kalau kena angin.
Seorang ibu-ibu yang sedang menunggu giliran ambil raskin bertanya, "Lha, kalo data anak-anak kita jadi diketahui sama orang luar? Mereka nggak akan tahu ya kalau Bu Rini suka makan lontong sayur tiap pagi?"
Pak Lius tertawa, "Tenang! Data itu kan sudah di-enkripsi, kayak surat cinta yang dikirim lewat burung merpati. Nggak mungkin diretas!"
Tapi di belakangnya, seorang remaja yang baru belajar coding di HP murahan tersenyum tipis. "Encrypted? Bapak pernah lihat WiFi warung depan rumah? Kalau itu aja putus-putus, apalagi data nasional," gumamnya.
Malam harinya, desa digegerkan oleh kabar bahwa data warga ternyata bocor. Mulai dari riwayat belanja di pasar hingga obrolan santai di warung kopi jadi viral di media sosial. Bahkan foto ketika Pak Kepala Desa mandi di sawah karena AC rusak pun muncul!
"Kok bisa-bisa...?" desis seorang petani sambil memegang kartu identitas yang kini jadi "trending topic".
Pak Lius muncul lagi di panggung, kali ini dengan baju batik berlubang. "Ini pasti konspirasi! Data kita aman kok, seperti..." Ia terdiam.
"Tentu saja nggak aman, Pak! Kita nggak mau jadi 'batik' yang coraknya dipake orang lain buat sticker wa!" teriak seorang pemuda.