Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjuangan Romo Mangunwijaya Bersama Masyarakat Pinggir Kali Code

17 Juni 2025   12:00 Diperbarui: 17 Juni 2025   17:58 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari pengalaman mendampingi warga selama tiga tahun, Romo Mangun, Bu Nunuk, dan Pak Willy merumuskan konsep pemberdayaan yang mereka namakan TRIBINA: Bina Kehidupan, Bina Lingkungan Hidup, dan Bina Manusia. "Kami ingin warga tak hanya bertahan hidup, tapi punya daya untuk mengubah nasib mereka," jelas Bu Nunuk.

Konsep ini berakar pada pendidikan penyadaran ala Paulo Freire, yang menekankan pendidikan orang dewasa berbasis pengalaman konkret. "Kami ajak warga mengurai pengalaman hidup mereka, seperti kenapa mereka miskin, kenapa mereka tergusur. Dari situ, mereka belajar berpikir kritis," ujar Bu Nunuk. Pendidikan ini dikemas sebagai "pendidikan terpadu" yang mencakup tiga fokus: pengalaman hidup (ekonomi keluarga), lingkungan sosial dan alam, serta martabat kemanusiaan warga yang selama ini tersisihkan.

Strategi pendampingan dimulai dari kelompok perempuan, yang dianggap lebih mudah membentuk komunitas. "Perempuan cepat tanggap soal kebutuhan keluarga. Mereka mulai dengan arisan, warung makan, apotik hidup, sampai merawat mata air di sungai," cerita Bu Nunuk. Anak-anak kemudian terinspirasi, membentuk kelompok untuk belajar, menari, dan teater rakyat. Para bapak, yang awalnya hanya ngobrol saat ronda, akhirnya ikut membentuk kelompok untuk menjaga keamanan kampung, memelihara ikan, atau bekerja di katering lokal.

(sumber: arsitekturindonesia)
(sumber: arsitekturindonesia)

Dampak dan Refleksi

Pendampingan TRIBINA, yang berlangsung dari 1984 hingga 1995, mengubah wajah Kampung Terban dan Code. Warga tak lagi sekadar bertahan, tetapi mulai berorganisasi, membangun solidaritas, dan merawat lingkungan. "Mereka belajar bahwa kemiskinan bukan nasib, tapi akibat sistem yang tidak adil. Dengan pendidikan, mereka jadi kritis dan kreatif," ujar Bu Nunuk.

Sebagai seorang feminis, Bu Nunuk melihat perjuangan ini juga mengajarkannya tentang kekuatan dan kelemahan perempuan serta laki-laki dalam menyelesaikan masalah. "Romo Mangun dan saya sering debat, bahkan bertengkar, soal pendekatan. Tapi dari situ, kami saling belajar," katanya. Bersama Pak Willy, mereka membuktikan bahwa pendampingan masyarakat miskin harus dilakukan bersama-sama, melibatkan semua pihak: mahasiswa, frater, hingga warga yang peduli.

Kisah Romo Mangun dan warga Kampung Terban dan Code (yang kemudian "menjadikan" Rama Mangun terkenal karena kehadiran dan pembelaannya) adalah bukti bahwa perubahan dimungkinkan, bukan dengan bantuan sesaat, tetapi melalui pemberdayaan yang menghidupkan daya dan martabat manusia. Seperti kata Bu Nunuk, "Romo Mangun mengajarkan kami bahwa mendampingi itu bukan memberi ikan, tapi mengajarkan cara memancing dan memastikan sungainya tak kering."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun