Perjuangan Romo Mangunwijaya Bersama Masyarakat Pinggir Kali Code
Di tepian Kali Code, Kampung Terban, Yogyakarta, pada era 1980-an, seorang imam katolik, Romo YB. Mangunwijaya, atau yang akrab disapa Romo Mangun, mendedikasikan hidupnya untuk mendampingi masyarakat miskin urban. Bu Nunuk, seorang dosen muda dan penggerak masyarakat, menjadi saksi perjuangan Romo Mangun.Â
Berikut ini merupakan simpulan berdasarkan wawancara dengan Bu Nunuk Murniati yang ikut menemani Romo Mangun. Ia menceritakan kisah inspiratif tentang bagaimana Romo Mangun, dengan pendekatan sederhana namun mendalam, mengubah kehidupan warga pinggiran sungai melalui pemberdayaan, solidaritas, dan pendidikan.
Awal Perjuangan di Pinggiran Kali Code
Bu Nunuk masih ingat betul ketika Romo Mangun memilih untuk tinggal bersama warga Kampung Terban, sebuah komunitas miskin yang mayoritas bermigrasi dari Kopeng, Salatiga. "Mereka kehilangan tanah warisan karena dijual untuk perkebunan cengkeh. Tak punya apa-apa lagi, mereka pindah ke Yogyakarta, tinggal di tanah 'wedi kengser' -endapan pasir bekas luapan sungai," kenang Bu Nunuk. Rumah-rumah kardus berdiri sebagai tempat berlindung, sementara warga mencari nafkah dengan mengumpulkan barang bekas untuk dijual ke pengepul.
Romo Mangun tak sekadar datang dan memberi bantuan. Ia memilih "live-in", tinggal bersama warga dalam rumah sederhana dari kayu dan bambu yang ia rancang sendiri dengan gaya arsitektur khasnya. "Romo ingin rumah itu jadi contoh, bahwa warga bisa punya tempat tinggal layak tanpa biaya mahal," ujar Bu Nunuk. Keputusan ini tak lepas dari hubungan baik Romo Mangun dengan Lurah Terban, Bapak Willy Prasetyo Suwitohadi, serta restu dari Romo Kardinal Yustinus Darmoyuwono.
Rumah-rumah yang ia siapkan tidak ditempati secara gratis. Ia membelakukan sistem sewa, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak bertanggung jawab. Meski kerja mereka memulung, mereka tetap berusaha untuk membayar sewa. Apakah ini sebuah model pendidikan dan pembedayaan oleh Rama Mangun ke warga? Kita akan menyimpulkannya setelah membaca tuntas tulisan ini.
Bu Nunuk, yang bergabung pada 1984 bersama mahasiswa Akademi Kesejahteraan Sosial Tarakanita, menjadi bagian dari tim pendampingan Romo Mangun. "Romo mengajak kami, terutama para perempuan, karena beliau percaya kami punya cara khusus menyelesaikan masalah," ceritanya. Pendekatan Romo Mangun berfokus pada pemberdayaan, bukan sekadar pemberian bantuan. Ia bahkan pernah marah besar pada seorang donatur yang membawa bawang merah dalam jumlah banyak. "Bagi Romo, pemberian seperti itu merendahkan warga, seolah mereka monyet yang hanya tahu menerima makanan," ungkap Bu Nunuk dengan tawa kecil.
Menghadapi Tantangan dengan Kecerdasan dan Solidaritas
Pendampingan di Kampung Terban tak selalu mulus. Salah satu masalah besar adalah maraknya perjudian. Romo Mangun berulang kali gagal menemui Komandan Kodim Kota Yogyakarta untuk meminta bantuan. Bu Nunuk pun ditugaskan. "Tiga kali saya coba, selalu dipersulit stafnya. Akhirnya, saya pakai akal 'bulus' sebagai perempuan," ujarnya sambil tersenyum. Ia mengaku sebagai "kawan kencan" sang komandan untuk mendapat akses. Strategi ini berhasil, dan perjudian di kampung berhasil ditertibkan. "Romo Mangun bilang, 'Inilah kenapa saya ajak Bu Nunuk dan kawan-kawan perempuan. Kalian punya cara yang saya nggak bisa!'" kenang Bu Nunuk.
Romo Mangun juga dikenal dekat dengan warga. Ia sering menghadiri rapat RT/RW dengan mengenakan sarung, layaknya bapak-bapak di kampung. "Romo nggak mau terlihat beda. Dia ingin warga merasa dia bagian dari mereka," ujar Bu Nunuk. Selain perjudian, Romo Mangun juga bekerja sama dengan Kodim untuk menertibkan warga yang tidak disiplin, seperti mereka yang terlibat dengan pekerja seks komersial. Bu Nunuk kerap menjadi ujung tombak dalam kegiatan-kegiatan ini, menunjukkan peran penting perempuan dalam perjuangan Romo Mangun.