Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

171 Juta atau 24 Juta? Mengurai Tolok Ukur Kemiskinan dan Langkah Strategis Indonesia

22 Mei 2025   20:33 Diperbarui: 22 Mei 2025   20:33 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(tangkapan layar HP dari Harian Kompas, dokpri).

Standar US$6,85 per hari dari Bank Dunia sering dikritik karena tidak mempertimbangkan variasi biaya hidup di Indonesia, misalnya antara Jakarta (biaya tinggi) dan Nusa Tenggara Timur (biaya rendah). Pendekatan seragam ini kurang relevan untuk negara dengan disparitas regional yang besar. Bank Dunia bisa menyesuaikan standar mereka dengan:

  • Mengembangkan garis kemiskinan yang mempertimbangkan biaya hidup regional.
  • Berkolaborasi dengan BPS untuk menciptakan tolok ukur yang lebih sensitif terhadap konteks lokal, misalnya dengan memasukkan data Susenas dalam analisis global.

Jalan Tengah: Kolaborasi, Bukan Dominasi

Daripada memaksa satu pihak untuk tunduk, solusi terbaik adalah kolaborasi. BPS dapat mempertahankan CBN untuk kebijakan domestik sambil mengembangkan indikator tambahan yang selaras dengan standar global. Sebaliknya, Bank Dunia dapat mengintegrasikan variabel lokal seperti biaya hidup regional dalam laporan mereka. 

Pendekatan hybrid ini akan menghasilkan tolok ukur yang lebih inklusif, relevan, dan bermanfaat untuk kebijakan nasional maupun pelaporan internasional.

Kesimpulan: Menjembatani Global dan Lokal

Angka 171,8 juta dan 24,06 juta bukanlah kontradiksi, melainkan dua perspektif yang saling melengkapi: global dan lokal. Indonesia harus memanfaatkan keduanya dengan komunikasi publik yang jelas, kebijakan dua lapis, dan integrasi data yang kuat. 

Alih-alih meminta BPS atau badan asing untuk tunduk, kolaborasi adalah kunci untuk menciptakan tolok ukur yang mencerminkan realitas Indonesia sekaligus mengejar standar global. Dengan langkah strategis ini, Indonesia dapat melangkah lebih pasti menuju pengentasan kemiskinan yang efektif dan berkelanjutan.

Referensi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun