Dampak Kecerdasan Buatan pada Interaksi Sosial di Komunitas PedesaanÂ
Di bawah langit malam yang bertabur bintang di sebuah desa di Lombok, warga berkumpul di balai desa, suasana tegang. Dua kelompok petani bersitegang soal pembagian air irigasi, suara keras saling bertubrukan.
Di tengah keriuhan, Mbok Sari, kepala desa berusia 45 tahun, mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi chatbot berbasis AI yang dikembangkan komunitas lokal. "Mari kita dengar solusi bersama," katanya, suaranya tenang, matanya penuh harap. Dengan bantuan AI, ia memfasilitasi dialog, meredakan konflik, dan membangun kepercayaan.
Kisah fiktif ini adalah tentang bagaimana kecerdasan buatan (AI) merangkai ulang interaksi sosial di pedesaan Indonesia, menjembatani hati di tengah digitalisasi yang kian cepat.
AI di Tengah Pedesaan
Desa seperti Panca Jaya di Lombok adalah cerminan komunitas pedesaan Indonesia: erat dalam budaya gotong royong, namun rentan terhadap konflik sosial akibat sumber daya terbatas, seperti air atau lahan. Digitalisasi, didorong oleh meningkatnya akses internet -dengan penetrasi 15,03% di pedesaan pada 2023 (Modern Diplomacy, 2024)- membawa AI ke desa melalui chatbot, aplikasi pendidikan, dan platform komunikasi.
AI juga menimbulkan tantangan: bagaimana teknologi ini memengaruhi cara warga berkomunikasi, menyelesaikan konflik, dan belajar secara informal? Cultural Anthropology (2021) menunjukkan bahwa teknologi baru dapat memperkuat atau mengganggu ikatan sosial, tergantung pada penerapannya, sebuah dinamika yang kini dihadapi desa-desa Indonesia.
Faktor Sosial dan Teknologi
Perubahan interaksi sosial di pedesaan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, keterbatasan infrastruktur digital, seperti akses internet yang tidak merata, membuat adopsi AI terbatas pada desa-desa dengan sinyal kuat.Â
Kedua, rendahnya literasi digital -Indonesia peringkat 60 global dalam kesiapan TIK (Modern Diplomacy, 2024)- menyebabkan warga kesulitan memahami AI, memicu ketidakpercayaan.
Ketiga, budaya musyawarah yang kuat di desa sering bertabrakan dengan sifat AI yang cepat dan impersonal, seperti chatbot yang kurang memahami emosi (Frontiers, 2023).
Keempat, kesenjangan generasi memperumit: anak muda lebih terbuka pada AI, sementara lansia cenderung skeptis. Journal of Social Anthropology (2020) mencatat bahwa teknologi yang tidak selaras dengan budaya lokal dapat melemahkan kepercayaan sosial hingga 30%.