Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bukber Bermakna: Mengukir Kebersamaan yang Berkesan di Tengah Kesibukan Zaman Now

16 Maret 2025   17:27 Diperbarui: 16 Maret 2025   17:27 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan qwen 2.5 max, dokpri)

Bukber Bermakna: Mengukir Kebersamaan yang Berkesan di Tengah Kesibukan Zaman Now

Di tengah gemerlap lampu Ramadan dan hiruk-pikuk media sosial, buka bersama (Bukber) kerap terjebak dalam ritual formalitas. Makanan mewah dan foto-foto instagramable justru mengaburkan esensi Bukber sebagai momen mempererat ikatan hati. Bagaimana menjadikan Bukber tak sekadar tradisi tahunan, tapi ruang untuk menebar kebaikan dan merajut kehangatan dalam keluarga maupun masyarakat?

Bukber yang Semakin Individualistik dan Konsumtif

Di era digital, Bukber seringkali berubah menjadi ajang pamer menu atau jumlah tamu. Keluarga sibuk mengabadikan makanan ketimbang mengobrol, sementara Bukber komunitas cenderung eksklusif dan berbiaya tinggi. Fenomena ini mengikis makna Ramadan sebagai bulan berbagi. Data survei Komunitas Ramadan Ceria (2023) menyebut 65% anak muda merasa Bukber kurang bermakna karena minim interaksi mendalam. Lantas, bagaimana mengembalikan ruh kebersamaan dalam tradisi ini?

Tak bisa dipungkiri, budaya documentation over interaction yang dipicu media sosial turut memperparah masalah ini. Momen buka puasa sering direduksi menjadi konten estetis: makanan photogenic, dekorasi mewah, atau jumlah followers yang hadir. Padahal, esensi Bukber sejatinya terletak pada kehangatan percakapan dan kebersamaan yang tulus. Survei serupa juga mengungkap bahwa 42% responden merasa cemas jika Bukber yang diadakan tidak "layak" dipamerkan di platform digital. Hal ini menunjukkan betapa tekanan sosial telah menggeser nilai-nilai spiritual Ramadan menjadi ajang kompetisi semu.

Di sisi lain, biaya tinggi dalam Bukber komunitas kerap menciptakan batas antara yang mampu dan tidak. Sebagian kelompok mematok iuran hingga ratusan ribu rupiah untuk menu prasmanan atau venue mewah, tanpa mempertimbangkan partisipasi anggota yang kurang mampu. Akibatnya, banyak yang memilih menghindar karena merasa tidak selevel. Fenomena ini kontradiktif dengan semangat Ramadan yang seharusnya merangkul semua kalangan. "Bukber yang mahal justru menjauhkan kita dari makna lapar dan empati pada sesama."

 

(olahan qwen 2.5 max, dokpri)
(olahan qwen 2.5 max, dokpri)

Bukber Sederhana yang Menyentuh Hati

Kisah Bu Siti (bukan nama sebenarnya), seorang ibu di Yogyakarta, patut menjadi inspirasi. Setiap Ramadan, ia mengajak anak-anaknya menyusuri kampung untuk membagikan takjil dan mengundang tetangga yang hidup sebatang kara. "Bukber bukan soal tempat atau menu, tapi tentang siapa yang kita bahagiakan," ujarnya. Di level komunitas, gerakan #BukberBerbagi yang diinisiasi anak muda Bandung berhasil mengumpulkan donasi untuk buka puasa bersama anak jalanan. Pengalaman ini membuktikan: Bukber bermakna lahir dari kesederhanaan dan empati.

Di Malang, sekelompok mahasiswa mengadopsi konsep serupa dengan menggelar Bukber Lorong. Mereka memanfaatkan ruang sempit di antara rumah-rumah warga, menggelar tikar, dan mengajak tukang becak serta penjaja kaki lima berbuka bersama. Menu yang disajikan pun sederhana: nasi bungkus, tempe orek, dan es teh manis. Namun, yang membuatnya istimewa adalah cerita-cerita yang mengalir: dari perjuangan seorang ibu tunggal membesarkan anak, hingga harapan tukang sapu yang ingin naik haji. "Di sini, kami belajar bahwa kebahagiaan itu bisa datang dari mendengar, bukan hanya menyantap hidangan," kata Rina, salah satu penggagas acara.

Gerakan lain datang dari Komunitas Hijau Lestari di Bali. Mereka menggabungkan Bukber dengan aksi lingkungan: peserta diminta membawa tempat makan sendiri dan menu yang dihidangkan berasal dari bahan lokal tanpa kemasan plastik. Hasilnya, selain mengurangi sampah, acara ini menjadi sarana edukasi tentang gaya hidup berkelanjutan. "Kami ingin Bukber tidak hanya menyatukan manusia, tapi juga menjaga bumi," jelas Ketua Komunitas, Wayan. Langkah ini membuktikan bahwa inovasi sederhana bisa menciptakan dampak ganda: sosial dan ekologis.

Solusi untuk Keluarga: Dari Sekadar Makan Bersama ke Quality Time Bermakna

Mengubah Bukber keluarga menjadi momen bermakna dimulai dengan memutus kebiasaan pasif. Misalnya, alih-alih membiarkan anak-anak sibuk dengan gawai, keluarga bisa menetapkan waktu 30 menit sebelum berbuka sebagai "zona bebas teknologi". Semua ponsel dikumpulkan dalam keranjang, lalu digantikan dengan obrolan yang dipandu pertanyaan reflektif seperti, "Apa tantangan terberatmu berpuasa hari ini?" atau "Apa kebaikan yang ingin kita lakukan bersama besok?". Untuk anak kecil, kegiatan bisa diselingi permainan sederhana seperti "Tebak Nilai Ramadan", di mana mereka menebak makna sabar atau syukur melalui cerita sehari-hari.

Kolaborasi dalam menyiapkan menu juga bisa menjadi sarana kebersamaan. Bayangkan seorang ayah dan remajanya memasak sup hangat sambil bercerita tentang resep turunan nenek, sementara anak kecil sibuk menghias puding dengan potongan kurma berbentuk bintang. Aktivitas ini tidak hanya mengasah kreativitas, tetapi juga menciptakan memori kolektif. Di sisi lain, buku harian Ramadan keluarga bisa menjadi alat refleksi. Setiap anggota menulis satu kalimat syukur atau pelajaran hari itu, seperti "Hari ini aku belajar sabar saat antre membeli takjil", lalu membacanya bersama saat Bukber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun