Dari Kegelapan ke Kemuliaan: Berjalan dalam Iman dan Pengharapan di Masa Prapaskah
Selamat pagi dan selamat hari Minggu Prapaskah kedua bagi para sahabat Kompasiana yang merayakannya. Pagi ini saya akan menuliskan sebuah refleksi singkat berdasarkan ketiga bacaan yang telah disiapkan Gereja Katolik -dari Kejadian, Filipi dan Lukas- untuk kita maknai bersama.Â
Di tengah perjalanan Prapaskah, kita diajak untuk merenungkan kegelapan yang kerap menghimpun keraguan, keletihan, dan ketidakpastian. Namun, bacaan hari ini -janji Allah pada Abram, nasihat Paulus, dan kisah transfigurasi Yesus- menggambarkan sebuah pergerakan dari kegelapan iman menuju cahaya pengharapan.Â
Bagaimana ketiga bacaan ini mengajak kita untuk tetap berpegang pada janji ilahi, hidup sebagai warga surga, dan mengalami transformasi melalui perjumpaan dengan Kristus?
Percaya pada Janji di Tengah Kegelapan (Kejadian 15:5-12,17-18)
Allah membawa Abram keluar kemah dan menunjukkan bintang-bintang, simbol janji keturunan yang tak terhitung. Meski Abram belum melihat bukti, ia percaya. Ritual perjanjian dengan api yang melintasi daging hewan yang terbelah menegaskan komitmen Allah: Dialah satu-satunya penjamin janji itu.
Dalam kehidupan yang sering dipenuhi ketidakpastian -krisis ekonomi, konflik keluarga, atau keraguan iman- Allah mengajak kita untuk "keluar" dari kemah kecemasan dan memandang "bintang-bintang" janji-Nya. Iman bukanlah kepastian instan, melainkan keberanian mempercayai Dia yang setia, bahkan ketika jalan masih gelap.
Hidup sebagai Warga Surga di Tengah Dunia yang Fana (Filipi 3:17-4:1)
Paulus mengingatkan jemaat Filipi: "Kewargaan kita adalah di dalam surga." Di tengah dunia yang mengagungkan kenikmatan instan, kuasa materi, dan kesuksesan duniawi, orang Kristen dipanggil untuk menetapkan hati pada nilai-nilai kekal. Paulus tidak menolak realitas dunia, tetapi mengajak kita untuk tidak terbelenggu olehnya.
Di era media sosial yang sering memupuk keserakahan dan perbandingan, hidup sebagai "warga surga" berarti mengutamakan kasih, keadilan, dan kerendahan hati. Prapaskah mengajak kita berpuasa dari "allah-allah" modern: konsumerisme, egoisme, dan kesombongan rohani.
Transfigurasi: Cahaya di Atas Gunung yang Menyembuhkan (Lukas 9:28b-36)
Di atas gunung, Yesus menampakkan kemuliaan-Nya. Musa (hukum) dan Elia (nabi) hadir, menegaskan bahwa Yesus adalah penggenapan seluruh rencana Allah. Namun, respons Petrus membangun pondok mengungkap kecenderungan manusiawi: ingin mengontrol pengalaman rohani. Namun, Allah memotong: "Dengarkanlah Dia!"
Transfigurasi bukan sekadar mukjizat spektakuler, melainkan undangan untuk "mendengarkan" Kristus dalam doa, Kitab Suci, dan sesama. Di tengah hiruk-pikuk hidup, Prapaskah adalah saat untuk naik ke "gunung" keheningan, merenungkan firman, dan membiarkan diri diubah oleh cahaya-Nya.