Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Real Food vs Frozen Food

4 Oktober 2024   21:15 Diperbarui: 4 Oktober 2024   21:16 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

REAL FOOD vs FROZEN FOOD
Sebuah Tinjauan Psikologi atas Kebiasaan dan Keseimbangan

Kompasiana memilih dua tema yang berkaitan dengan "food" dalam waktu yang berdekatan. Pertama tentang frozen food atau makan instant yang siap saji dengan sedikit racikan atau olahan. Kedua tentang real food: gaya hidup sehat dan kekinian. Keduanya menarik untuk ditelaah. Saya mencoba mengkajinya dari segi perilaku para pengguna real food dan frozen food.

Perdebatan antara real food dan frozen food

Perdebatan antara real food dan frozen food dalam menjaga kesehatan tubuh bukan hanya persoalan nutrisi, tetapi juga mengungkapkan aspek psikologis dan sosial yang lebih dalam terkait perilaku manusia dalam memilih makanan. Pilihan antara makanan segar dan makanan beku mempengaruhi, dan dipengaruhi oleh, persepsi diri, kebiasaan hidup, hubungan sosial, serta faktor emosional dan sosial ekonomi yang kompleks.

Real food, yang terdiri dari makanan alami, segar, dan minim pengolahan, sering dipilih oleh individu yang memiliki kesadaran tinggi akan kesehatan dan kebugaran. Dari sudut pandang psikologis, memilih real food mencerminkan tingkat kontrol diri dan tanggung jawab yang lebih besar terhadap kesehatan. Orang yang cenderung memilih real food sering merasa lebih terhubung dengan tubuh mereka dan menikmati kepuasan emosional karena pilihan makanan mereka dianggap sebagai investasi untuk kesejahteraan jangka panjang. Pilihan ini biasanya terkait dengan perilaku sadar dalam menjaga keseimbangan pola makan dan gaya hidup sehat.

Sebaliknya, frozen food sering dipilih karena kemudahannya dan sifatnya yang praktis, terutama bagi mereka dengan gaya hidup sibuk atau yang tidak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan makanan segar. Secara psikologis, ini mencerminkan pola perilaku yang lebih mementingkan efisiensi dan kenyamanan. Meskipun frozen food bisa memberikan solusi cepat dan ekonomis, makanan olahan beku biasanya mengandung lebih banyak bahan tambahan seperti pengawet, gula, dan garam, yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan. Ketergantungan pada frozen food seringkali mencerminkan keinginan untuk kenyamanan jangka pendek, namun dapat berujung pada ketidakpuasan jangka panjang, terutama ketika orang mulai merasa dampak negatifnya terhadap tubuh mereka.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Kebiasaan dan Keseimbangan

Pilihan antara real food dan frozen food juga sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dan pendidikan sejak kecil. Mereka yang dibesarkan dengan kebiasaan mengonsumsi makanan segar cenderung memiliki sikap lebih selektif terhadap kualitas makanan mereka. Sebaliknya, mereka yang terbiasa dengan makanan beku atau olahan mungkin lebih sulit mengubah kebiasaan mereka, karena cita rasa makanan olahan sering diasosiasikan dengan rasa nyaman. Kebiasaan ini menunjukkan bagaimana makanan tidak hanya sekadar kebutuhan fisik, tetapi juga menjadi bagian dari pola psikologis dan kehidupan emosional seseorang.

Selain itu, keseimbangan emosi juga memainkan peran penting dalam memilih makanan. Real food sering dikaitkan dengan perasaan lebih segar, sehat, dan energik, yang dapat meningkatkan mood positif dan kesejahteraan mental. Sebaliknya, frozen food, yang kadang dianggap sebagai "comfort food," dapat memberikan rasa nyaman secara instan, terutama saat seseorang berada dalam kondisi emosional yang tidak stabil, seperti stres atau kelelahan. Makanan sering kali menjadi sarana untuk mengatur emosi, yang dapat membantu mengurangi kecemasan atau perasaan negatif, meskipun dampaknya hanya sementara.

Dampak lain dari pilihan makanan ini adalah pada relasi sosial. Orang yang memilih real food sering kali lebih sadar akan dampak sosial dan lingkungan dari makanan mereka. Mereka mungkin lebih terlibat dalam komunitas yang mempromosikan gaya hidup sehat dan lebih suka berkumpul dalam acara-acara yang mendukung kesadaran nutrisi, seperti pasar organik atau kelas memasak sehat. Ini menciptakan koneksi sosial yang lebih erat dengan orang-orang yang berbagi nilai yang sama, memperkuat perasaan identitas bersama dan komunitas.

Di sisi lain, konsumsi frozen food yang berlebihan kadang mencerminkan isolasi sosial atau keterbatasan dalam hubungan interpersonal. Frozen food, yang mudah diakses dan disiapkan, sering dipilih dalam kondisi kesibukan atau kesendirian, di mana interaksi sosial menjadi lebih minim. Selain itu, pola makan ini dapat mengurangi kesempatan untuk berbagi waktu dan pengalaman bersama keluarga atau teman, seperti memasak dan makan bersama. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini bisa menurunkan kualitas relasi sosial karena berkurangnya interaksi yang terjadi melalui aktivitas makan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun