Mohon tunggu...
Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2018, tertarik pada isu-isu politik dan keamanan internasional, kedirgantaraan, militer, dan eksplorasi luar angkasa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Invasi Grenada: Kemenangan Fisik AS, Kemenangan Ideologis Uni Soviet

23 Juli 2019   22:17 Diperbarui: 23 Juli 2019   22:23 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pinterest.com/toymatz21 

Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet berhasil memberikan dampak yang begitu luas di seluruh dunia. Meskipun sebatas saling tantang, gertak, dan adu ideologi tanpa melibatkan bentrokan senjata secara langsung, kedua pihak dengan berbagai cara memanfaatkan negara-negara dunia ketiga yang lantas dijadikan sekutu, untuk kemudian diadu satu sama lain. 

Dengan kekuatan fisik dan ideologis masing-masing, baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet berhasil mengintervensi politik dalam negeri negara-negara ketiga dengan cara apapun, demi kepentingan mereka sendiri. 

Grenada, sebuah negara pulau mungil di Karibia pun tak luput dari intervensi dua negeri adidaya tersebut. Kedua pihak sama-sama menjadikan Grenada 'palagan perang', baik secara fisik maupun ideologis. Negeri mungil tersebut merdeka pada 7 Februari 1974 dan membentuk pemerintahan sendiri segera mendapat pengakuan internasional. Sebagai negara bekas koloni Inggris, Grenada secara langsung menjadi anggota negara-negara Persemakmuran (Commonwealth States).  

Dinamika politik pascakemerdekaan Grenada tak berlangsung mulus. Dua partai yang berkuasa sejak sebelum kemerdekaan, Partai Nasional yang beraliran konservatif dan Partai Buruh Bersatu yang berideologi sosialis saling bertikai, terutama menyangkut ideologi negara. Pertikaian tersebut menjalar hingga ke ranah kehidupan masyarakat sipil. Berkali-kali terjadi kerusuhan antarwarga pendukung dua partai tersebut.

Polaritas tersebut membuat kehidupan demokrasi Grenada terancam. Apalagi, Perdana Menteri Eric Geiry yang didukung Partai Buruh Bersatu semakin lama semakin otoriter. Mereka membentuk milisi rahasia bernama Mongoose Gang yang bertujuan untuk melawan segala bentuk oposisi, terutama warga pendukung Partai Nasional. Pendukung Partai Buruh Bersatu tentu merasa di atas angin, mengingat sejak pemilu periode 1970an, partai mereka selalu menang. 

Grenada dapat dikatakan merdeka pada saat yang kurang baik. Perang Dingin berada pada 'puncak kebekuannya'. Sementara itu angin kemenangan dalam Perang Dingin sedang berpihak pada Uni Soviet dan sekutu-sekutu komunisnya yang tergabung dalam Blok Timur dan Pakta Warsawa. 

Bersama-sama dengan Tentara Vietnam Utara dan gerilyawan Viet Cong, Uni Soviet berhasil menancapkan kuku besarnya di Asia Tenggara seiring dengan jatuhnya Vietnam Selatan dan terusirnya Amerika Serikat pada 1973. Meskipun kelak Amerika Serikat secara tidak langsung berhasil mempertahankan hegemoninya di Asia Tenggara dengan membantu Indonesia menduduki Timor Leste, namun kekalahan di Vietnam merupakan bekas luka yang tak mudah hilang dalam sejarah negara tersebut.

Tak hanya berhasil merebut serta menyatukan kembali Vietnam dalam ideologi Komunisme, Uni Soviet dan Blok Timur berhasil memperluas pengaruh ideologisnya dengan menyokong negara-negara Afrika secara politik maupun finansial. Republik Kongo, Benin, Madagaskar, Tanzania, Zimbabwe, dan Angola adalah sebagian di antaranya. 

Di dua negara terakhir, Uni Soviet bahkan mendukung mereka dalam perang kemerdekaan melawan penjajah masing-masing. Adapun di Amerika Tengah dan Karibia, Uni Soviet berhasil mempertahankan posisinya dengan mencegah Invasi Teluk Babi di Kuba. Di Nikaragua, Pemberontak Sandinista berhasil merebut pemerintahan, juga berkat bantuan Uni Soviet dan sekutunya.

Situasi dan kondisi politik Grenada yang amburadul inilah yang membuat mata Leonid Brezhnev, sang pemimpin besar Uni Soviet berbinar. Ia sekali lagi dapat membawa negerinya unggul dari Amerika Serikat secara ideologis dengan menanamkan pengaruh komunisme di Grenada. Apalagi, mulai muncul gerakan-gerakan oposisi yang menentang pemerintahan Eric Geiry dan partainya. 

New Jewel Movement (NJM) adalah salah satu gerakan oposisi paling dominan. Dipimpin Maurice Bishop, NJM berusaha mencari dukungan pada masyarakat sebagai legitimasi guna mendongkel Eric Geiry dari kekuasaan. Dari eksternal, Uni Soviet, Kuba, dan Jerman Timur pun langsung menyatakan kesediaannya menyokong NJM dengan bantuan finansial dan militer. 

Maurice Bishop haqqul yakin bahwa kudeta tak akan terlaksana dengan mulus apabila NJM tidak memiliki kekuatan fisik bersenjata. Apalagi, militer Grenada loyal kepada sang Perdana Menteri. Dengan dana yang diberikan Uni Soviet tersebut, ia membentuk milisi yang kelak akan menjadi Tentara Revolusioner Grenada. 

Tak hanya itu, sebagai timbal balik, Bishop berjanji untuk mendukung segala bentuk politik Uni Soviet di hemisfer barat, termasuk kemungkinan untuk menyerang Amerika Serikat. Terlebih, Grenada tak terlalu jauh dari Kuba yang merupakan negara komunis dan basis Uni Soviet di kawasan Amerika.

Benar saja, kudeta dengan mudahnya terlaksana pada 1979. Eric Geiry menyerahkan diri kepada NJM dan segera, partai tersebut mengambil posisi strategis di pemerintahan. Agar rakyat semakin percaya, NJM menyiarkan slogan-slogan demokratis dan progresif, seperti pembebasan tahanan politik, pemenuhan hak-hak kesetaraan wanita, perbaikan nasib buruh, hingga kebebasan berpolitik bagi masyarakat. Pemerintahan Revolusioner Grenada terbentuk dengan Maurice Bishop sebagai Perdana Menterinya.

Suasana demokratis tersebut rupanya tak berlangsung lama. Tak sampai setahun, pemerintahan revolusioner yang seumur jagung itu memberangus segala kegiatan politik masyarakat yang tak berafiliasi dengan NJM. Partai tersebut juga dijadikan partai tunggal dan berkuasa selama rentang waktu tak terbatas. Sementara itu, hubungan luar negeri Grenada dengan Blok Timur berlanjut. Bishop memberikan izin dan asistensi pada Uni Soviet dan Kuba untuk membangun bandara internasional. 

Selain untuk transportasi umum, bandara internasional itu ternyata merupakan proyek Uni Soviet sebagai sarana menggempur wilayah Amerika Serikat., sehingga setelah resmi beroperasi, Uni Soviet dapat meluncurkan jet tempurnya dari bandara tersebut.

Mendengar proyek tersebut, Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan tentu saja naik pitam. Jika dulu Amerika Serikat berhadapan dengan Kuba sebagai negara komunis utama di Amerika Tengah dan Karibia, sekarang mereka harus berhadapan dengan dua negara komunis pada saat bersamaan. 

Dikutip dari ulasan Phil Gailey dan Warren Waver Jr. dalam New York Times, pada 1983, dalam pidato suatu pertemuan tingkat tinggi, Presiden Reagan memperingatkan menteri-menterinya dan seluruh rakyat Amerika Serikat akan ancaman militerisasi Karibia oleh Uni Soviet. 

Dengan pernyataan di atas, sudah cukup bagi Amerika Serikat untuk menyatakan siap tempur dengan kondisi apapun melawan Grenada. Percikan permusuhan itu semakin nyata ketika Ronald Reagan menolak menemui Maurice Bishop yang kebetulan sedang berkunjung ke Amerika Serikat pada Juni 1983. Segera, bantuan finansial AS melalui Bank Dunia dan Bank Pembangunan Karibia untuk Grenada disetop total.

Rencana invasi terhadap Grenada sebenarnya sudah dipikirkan oleh CIA dan militer Amerika Serikat sejak 1981. Kedua pihak tersebut secara diam-diam sebenarnya sudah memantau perkembangan yang terjadi di negara pulau itu dan menghitung perkiraan berapa jumlah warga negara Kuba dan Uni Soviet yang bercokol pasca Kudeta 1979. 

Karena Reagan hanya ingin "memberikan pelajaran berharga" sekaligus mempertimbangkan wilayah pulau yang kecil dan alasan kemanusiaan, jumlah pasukan militer Amerika Serikat yang akan menginvasi hanya 7.500 personel, didominasi oleh Marinir dan Pasukan Khusus SEALs. Sebagai 'legitimasi', Reagan menggandeng Organisasi Negara-Negara Karibia untuk membentuk Pasukan Perdamaian Karibia sejumlah dua kompi (lebih kurang 350 personel).

Invasi tersebut berlangsung selama empat hari, mulai 25 Oktober dan berakhir pada 29 Oktober 1983 dengan sandi Operasi Urgent Fury. Meskipun begitu, pada dokumen resmi Departemen Pertahanan AS, invasi dan pendudukan akan dilakukan selama sebulan. Terdapat empat misi yang harus dilaksanakan oleh pasukan gabungan AS dan Karibia tersebut. 

Pertama, pendudukan terhadap kota-kota penting. Kedua, perebutan Bandara Internasional Point Salines dan Pearl yang diyakini menjadi basis Uni Soviet dan Kuba. Ketiga, penindakan terhadap warga negara Kuba dan Uni Soviet yang masih bertahan, dan keempat, penggulingan pemerintahan Maurice Bishop dan mengembalikan pemerintahan prakudeta 1979.

Sebagaimana diduga banyak pihak, AS berhasil memenangi pertempuran dan seluruh misi dapat dilaksanakan oleh AS dan Pasukan Perdamaian Karibia. Seluruh aspek pemerintahan komunis Grenada dikembalikan seperti sedia kala. Jenderal Hudson Austin, panglima tertinggi Tentara Revolusioner Grenada menyerahkan diri bersama seluruh pasukannya. Jumlah korban tewas di pihak AS sebanyak 18 prajurit, sementara Grenada kehilangan 45 prajurit, Kuba 25 prajurit, dan terdapat dua prajurit Tentara Merah Uni Soviet yang terluka. Korban jiwa dari warga sipil sebanyak 24 jiwa.

Laiknya operasi militer lain yang melibatkan AS, Invasi Grenada juga menimbulkan kontroversi. Meskipun invasi tersebut terlegitimasi secara internasional karena kondisi Perang Dingin dan merupakan bentuk Containment Policy AS, namun tentangan demi tentangan tetap dilancarkan, terutama dari kalangan negara dunia ketiga dan negara persemakmuran. Kanada dan Inggris merupakan dua negara yang paling keras mengutuk invasi tersebut. 

Sebagai sesama negara Persemakmuran, wajar bagi Inggris dan Kanada mengkritik Invasi Grenada. Grenada merupakan salah satu anggota Persemakmuran yang termuda, sehingga tiada satu pun negara yang diizinkan untuk mengintervensi politik dalam negerinya, apalagi menginvasi. Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher sempat terpancing emosi dan mengatakan invasi tersebut tak beralasan. 

Invasi ini dapat dikatakan hanya terlegitimasi setengah hati, karena dikecam keras pula oleh dunia internasional. Majelis Umum PBB pun mengeluarkan resolusi yang berisi tentangan terhadap Invasi Grenada dan memerintahkan pasukan militer AS untuk segera mengundurkan diri dari pulau tersebut. Inilah yang menjadi alasan mengapa invasi dan pendudukan Grenada hanya berlangsung empat hari, dari rencana semula, selama sebulan.

Meskipun begitu, invasi ini memberi arti penting bagi Amerika Serikat. Moral prajurit militer AS yang sempat runtuh akibat kekalahan di Vietnam terobati dengan kemenangan di Grenada. Apalagi, banyak di antara mereka yang pernah bertugas di Vietnam kemudian ditugaskan kembali dalam invasi ini. Secara politik, Invasi Grenada meningkatkan popularitas Ronald Reagan yang juga sempat menurun, meskipun invasi ini dikecam secara internasional. 

Publik Amerika Serikat pun semakin percaya bahwa negara mereka kuat dan mampu memenangi Perang Dingin. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, ketika Uni Soviet berhasil menginvasi Afghanistan dan memperluas pengaruhnya di Afrika, sempat terjadi 'gelombang pesimisme' pada publik Amerika Serikat.

Memang, Amerika Serikat berhasil unggul atas Uni Soviet di Grenada, namun hanya secara fisik (persenjataan militer). Apapun hasilnya, Uni Soviet tetap menjadi pihak yang unggul secara pengaruh karena lagi-lagi berhasil menyebarluaskan ideologi komunisme di belahan dunia lain, bahkan pada jarak yang cukup dekat dengan Amerika Serikat. Uni Soviet bahkan dapat menampilkan citra yang lebih 'positif' pada dunia ketimbang AS. 

Mengapa? Meskipun pada hakikatnya Uni Soviet tetap melakukan intervensi pada politik dalam negeri negara-negara yang lebih 'kecil', namun mereka berhasil menciptakan image bahwa apa yang mereka lakukan (secara ideal) bertujuan untuk meruntuhkan rezim otoriter, membangun demokrasi, dan menciptakan kehidupan politik yang lebih bebas, meskipun pada akhirnya justru sebaliknya terjadi. Amerika Serikat kala itu dianggap sangat identik dengan dukungan terhadap rezim otoriter, kejam, dan menindas masyarakat, sebut saja Rezim Somoza, Duvalier, Mobutu Sese Seko, hingga Soeharto dan Ferdinand Marcos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun