Mohon tunggu...
Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2018, tertarik pada isu-isu politik dan keamanan internasional, kedirgantaraan, militer, dan eksplorasi luar angkasa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Invasi Grenada: Kemenangan Fisik AS, Kemenangan Ideologis Uni Soviet

23 Juli 2019   22:17 Diperbarui: 23 Juli 2019   22:23 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pinterest.com/toymatz21 

New Jewel Movement (NJM) adalah salah satu gerakan oposisi paling dominan. Dipimpin Maurice Bishop, NJM berusaha mencari dukungan pada masyarakat sebagai legitimasi guna mendongkel Eric Geiry dari kekuasaan. Dari eksternal, Uni Soviet, Kuba, dan Jerman Timur pun langsung menyatakan kesediaannya menyokong NJM dengan bantuan finansial dan militer. 

Maurice Bishop haqqul yakin bahwa kudeta tak akan terlaksana dengan mulus apabila NJM tidak memiliki kekuatan fisik bersenjata. Apalagi, militer Grenada loyal kepada sang Perdana Menteri. Dengan dana yang diberikan Uni Soviet tersebut, ia membentuk milisi yang kelak akan menjadi Tentara Revolusioner Grenada. 

Tak hanya itu, sebagai timbal balik, Bishop berjanji untuk mendukung segala bentuk politik Uni Soviet di hemisfer barat, termasuk kemungkinan untuk menyerang Amerika Serikat. Terlebih, Grenada tak terlalu jauh dari Kuba yang merupakan negara komunis dan basis Uni Soviet di kawasan Amerika.

Benar saja, kudeta dengan mudahnya terlaksana pada 1979. Eric Geiry menyerahkan diri kepada NJM dan segera, partai tersebut mengambil posisi strategis di pemerintahan. Agar rakyat semakin percaya, NJM menyiarkan slogan-slogan demokratis dan progresif, seperti pembebasan tahanan politik, pemenuhan hak-hak kesetaraan wanita, perbaikan nasib buruh, hingga kebebasan berpolitik bagi masyarakat. Pemerintahan Revolusioner Grenada terbentuk dengan Maurice Bishop sebagai Perdana Menterinya.

Suasana demokratis tersebut rupanya tak berlangsung lama. Tak sampai setahun, pemerintahan revolusioner yang seumur jagung itu memberangus segala kegiatan politik masyarakat yang tak berafiliasi dengan NJM. Partai tersebut juga dijadikan partai tunggal dan berkuasa selama rentang waktu tak terbatas. Sementara itu, hubungan luar negeri Grenada dengan Blok Timur berlanjut. Bishop memberikan izin dan asistensi pada Uni Soviet dan Kuba untuk membangun bandara internasional. 

Selain untuk transportasi umum, bandara internasional itu ternyata merupakan proyek Uni Soviet sebagai sarana menggempur wilayah Amerika Serikat., sehingga setelah resmi beroperasi, Uni Soviet dapat meluncurkan jet tempurnya dari bandara tersebut.

Mendengar proyek tersebut, Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan tentu saja naik pitam. Jika dulu Amerika Serikat berhadapan dengan Kuba sebagai negara komunis utama di Amerika Tengah dan Karibia, sekarang mereka harus berhadapan dengan dua negara komunis pada saat bersamaan. 

Dikutip dari ulasan Phil Gailey dan Warren Waver Jr. dalam New York Times, pada 1983, dalam pidato suatu pertemuan tingkat tinggi, Presiden Reagan memperingatkan menteri-menterinya dan seluruh rakyat Amerika Serikat akan ancaman militerisasi Karibia oleh Uni Soviet. 

Dengan pernyataan di atas, sudah cukup bagi Amerika Serikat untuk menyatakan siap tempur dengan kondisi apapun melawan Grenada. Percikan permusuhan itu semakin nyata ketika Ronald Reagan menolak menemui Maurice Bishop yang kebetulan sedang berkunjung ke Amerika Serikat pada Juni 1983. Segera, bantuan finansial AS melalui Bank Dunia dan Bank Pembangunan Karibia untuk Grenada disetop total.

Rencana invasi terhadap Grenada sebenarnya sudah dipikirkan oleh CIA dan militer Amerika Serikat sejak 1981. Kedua pihak tersebut secara diam-diam sebenarnya sudah memantau perkembangan yang terjadi di negara pulau itu dan menghitung perkiraan berapa jumlah warga negara Kuba dan Uni Soviet yang bercokol pasca Kudeta 1979. 

Karena Reagan hanya ingin "memberikan pelajaran berharga" sekaligus mempertimbangkan wilayah pulau yang kecil dan alasan kemanusiaan, jumlah pasukan militer Amerika Serikat yang akan menginvasi hanya 7.500 personel, didominasi oleh Marinir dan Pasukan Khusus SEALs. Sebagai 'legitimasi', Reagan menggandeng Organisasi Negara-Negara Karibia untuk membentuk Pasukan Perdamaian Karibia sejumlah dua kompi (lebih kurang 350 personel).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun