Mohon tunggu...
alfidan iqma
alfidan iqma Mohon Tunggu... mahasiswa

olahraga

Selanjutnya

Tutup

Film

Ketika Kekerasan Jadi Hiburan: Efek Psikologis Menonton Film Sadis

18 Oktober 2025   17:21 Diperbarui: 18 Oktober 2025   17:21 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Pernahkah Anda merasakan peningkatan adrenalin? Jantung berdebar kencang saat karakter dalam film diburu oleh antagonis beringas, atau justru Anda tertawa geli menyaksikan adegan perkelahian berdarah yang sadis? Dalam kegelapan di dalam bioskop atau kenyamanan di ruang keluarga, kita secara tidak sadar membiarkan konten-konten kekerasan masuk ke dalam pikiran kita. Kejadian ini sangat sering terjadi dikehidupan kita saat ini, ketika narasi-narasi bahagia tak lagi menarik dimata penonton, film-film dengan konten kekerasan dan sadis justru mendapat urutan terdepan sebagai film yang paling sering ditonton. Namun, dibalik sensasi hiburan yang kita dapatkan, kita juga harus bertanya: "Apa dampak dari konsumsi konten sadis dan kekerasan pada kesehatan mental dan psikologis penontonnya?"

Dampak dari mengonsumsi banyak konten kekerasan dan sadis bervariasi tergantung pada penontonnya. Yang pertama adalah timbulnya rasa takut, tegang dan gelisah. Efek-efek ini biasanya muncul pada penonton yang dalam tanda kutip, "penakut." Mereka membayangkan bagaimana jika mereka berada di posisi orang yang dikejar-kejar, disiksa, ataupun dibunuh. Hal ini dapat menyebabkan gangguan kecemasan jika terjadi dalam frekuensi yang banyak dan lama. Orang yang terkena dampak ini bisa secara tiba-tiba mendapat mimpi buruk, ketidak-tenangan saat tidur, hingga merasa paranoid terhadap orang-orang disekitarnya. Akibatnya, tumbuhlah sifat dan perilaku anti sosial, dikarenakan ketakutan tak berdasar yang berasal dari konsumsi konten-konten sadis dan kekerasan.

Pendapat diatas menyatakan bahwa meskipun mekanisme pertahanan psikologis kita mampu menyaring fiksi dari realita, konsumsi rutin film sadis bisa berpotensi mengurangi sensitivitas emosional, membelokkan pandangan kita tentang konflik dan kekerasan, serta dalam beberapa kondisi tertentu, memperkuat kecenderungan agresif dalam diri penontonnya. Namun, bahaya sebenarnya terletak pada kemungkinan penonton mencoba mempraktekkan apa yang dilihatnya kedalam kehidupan nyata. Misalnya saja ketika seorang remaja yang memiliki kecenderungan implusif menonton film denan banyak adegan kekerasan. Ada kemungkinan yang tidak kecil bahwa ia akan mencoba mempraktekkan apa yang ia tonton di kehidupan nyata, yang dapat mengorbankan teman, keluarga, dan orang-orang sekitarnya. Atau ketika seseorang terbiasa melihat penderitaan manusia yang divisualisasikan dengan tujuan sebagai hiburan, bagaimana reaksinya ketika menyaksikan atau menjadi saksi tindak kekerasan di dunia nyata? Apakah empati atau ketakutan akan muncul seperti pada manusia biasanya? Ataukah kebiasaanya melihat kekerasan sebagai hiburan akan mempengaruhi tanggapan orang tersebut? Inilah dampak-dampak yang paling menakutkan.

Lalu, sebenarnya apa yang membuat dampak-dampak ini bisa terjadi? Jawabannya terletak pada perpaduan kompleks antara teknik pembuatan film, psikologi dalam narasinya, dan cara kerja otak kita secara biologis. Film-film kekerasan tidak hanya menampilkan adegan sadis, mereka disusun dengan cermat untuk menggoyahkan rasionalitas dalam diri kita dan berdampak langsung pada emosi yang jauh dalam hati.

Faktor pertama dan paling jelas adalah dampak yang ditimbulkan oleh sensor di tubuh kita, melalui efek visual dan suara. Sinematografi modern menggunakan teknik-teknik tertentu untuk memaksimalkan dampak emosional. Misalnya, penggunaan close-up ekstrem saat terjadi luka atau penyiksaan memaksa penonton untuk menyaksikan detail mengerikan tanpa bisa berpaling. Warna yang dipilih juga berperan. Warna-warna dingin dan gersang seringkali digunakan untuk menciptakan suasana yang suram dan kejam, sementara semburat darah yang merah menyala memberikan kontras yang mencengkam. Di sisi audio, desain suara memainkan peran yang sangat penting. Suara tulang yang patah, daging yang robek, atau jeritan kesakitan yang dibuat semakin nyaring dan realistis, dirancang untuk memicu respons refleks dari rasa takut dan kengerian. Ditambah dengan musik yang mendramatisir, entah itu orkestra estetik yang memuja kekerasan heroik atau suara dissonan yang memicu kecemasan. Semua elemen ini bekerja sama untuk menciptakan pengalaman yang sangat intens, melewati filter pikiran sadar kita dan langsung mengaktivasi sistem saraf bawah sadar kita.

Lebih jauh lagi, ada mekanisme naratif yang membuat kita berempati dan membenarkan kekerasan. Film-film ini biasanya tidak menampilkan kekerasan secara acak. Mereka membangun narasi di mana kita diharuskan untuk membayangkan diri kita sendiri sebagai protagonis, yang seringkali adalah pelaku kekerasan utama. Kita diajak untuk memahami latar belakang penderitaan mereka, motivasi balas dendam mereka, atau tujuan mulia mereka seperti melindungi keluarga, menyelamatkan dunia, dll. Dengan cara ini, film memicu pelepasan beban moral. Ketika sang protagonis menghancurkan musuh dengan cara yang brutal, kita tidak melihatnya sebagai tindakan kejam, melainkan sebagai keadilan yang terlambat. Kita ikut merasakan kepuasan saat antagonis menderita. Proses ini secara halus mengajarkan otak kita bahwa kekerasan adalah alat yang sah dan bahkan terpuji untuk menyelesaikan konflik, asalkan dilakukan oleh "orang yang benar."

Faktor ketiga adalah penyajian kekerasan tanpa konsekuensi realistis. Di dunia sinema, seorang pahlawan bisa terlibat dalam baku hantam brutal, jatuh dari ketinggian, atau selamat dari ledakan besar dan hanya menderita luka gores kecil. Dampak psikologis dari membunuh puluhan orang, yaitu trauma, rasa bersalah dan gangguan stres pascatrauma jarang dibeberkan secara mendalam. Akibatnya, penonton, terutama yang masih muda, mendapatkan pandangan yang sangat "bersih" tentang kekerasan. Kekerasan terlihat keren, efektif, dan bebas dari akibat yang membebani. Ini menciptakan pembelokan persepsi yang berbahaya, di mana seseorang mungkin meremehkan dampak fisik dan emosional yang sebenarnya dari tindakan kekerasan di dunia nyata.

Terakhir, semua ini diperkuat oleh mekanisme biologis dalam otak kita, seperti neuron cermin (mirror neurons) dan priming kognitif. Neuron cermin adalah sel-sel saraf yang aktif baik saat kita melakukan sebuah tindakan maupun saat kita mengamati orang lain melakukannya. Ketika kita menonton karakter di layar bertindak agresif, neuron cermin kita ikut "menirukan" pola aktivitas tersebut, seolah-olah kita sendiri yang bersiap untuk bertindak. Ini tidak berarti kita akan langsung meniru, tetapi secara tidak sadar mempersiapkan jalur saraf untuk bertindak. Sementara itu, priming kognitif, seperti yang disinggung sebelumnya, bekerja dengan cara membuat konsep-konsep terkait kekerasan seperti senjata, serangan dan kemenangan fisik lebih mudah diakses oleh otak kita. Jika setelah menonton film, seseorang menghadapi situasi yang memancing amarah, otaknya yang telah "dipanaskan" oleh adegan-adegan kekerasan akan lebih cenderung mengakses solusi agresif sebagai respons pertama.

Akan tetapi, yang lebih berbahaya lagi, adalah adanya efek yang lebih halus dan mungkin lebih berbahaya adalah desensitisasi emosional. Prinsip psikologi dasar menyatakan bahwa cara mental manusia menanggapi suatu hal yang mengancam akan berkurang seiring dengan seringnya hal tersebut terulang. Dalam konteks film sadis, adegan berdarah-darah seperti penyiksaan, pembunuhan, atau mutilasi yang awalnya memicu rasa ngeri, mual, atau tidak nyaman, lama-kelamaan akan kehilangan pengaruh emosionalnya. Penonton yang sudah terbiasa melihat adegan serupa mungkin hanya akan mengangkat bahu atau bahkan tergelak menanggapi adegan yang seharusnya mengganggu. Ini adalah mekanisme pertahanan yang dirancang otak untuk melindungi kondisi psikologis diri, sebuah cara untuk melindungi mental seseorang dari ancaman trauma.

Riset-riset pada bidang media dan komunikasi visual juga telah menghasilkan kesimpulan yang mengkhawatirkan. Yaitu kebiasaan menonton kekerasan dapat mengurangi empati, simpati dan kepekaan terhadap korban kekerasan, seperti yang terbukti melalui eksperimen para peneliti. Dengan kata lain, layar kaca bisa menjadi semacam lapisan pelindung yang memisahkan fiksi dan realita, namun juga secara halus mengikis rasa kemanusiaan kita yang paling dasar, yaitu rasa sakit melihat sesama manusia menderita.

Tentu saja, terdapat sudut pandang lain yang berpendapat bahwa konteks dan niat penonton adalah segalanya. Pihak oposisi dari teori pertama langsung berargumen bahwa penonton bukanlah makhluk hidup yang pasif. Mereka datang dengan kepribadian, sifat-sifat, dan latar belakang yang sudah terbentuk. Seorang penonton yang sehat, pastinya akan mampu membedakan dengan tegas yang mana fiksi dan yang mana realita. Mereka menonton film aksi yang sadis untuk mencari sensasi, ketegangan, atau sekadar mencoba hal yang belum pernah atau jarang mereka konsumsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun