Dakwah sering kita pahami sekadar aktivitas menyampaikan ajaran Islam. Padahal, di balik itu ada dimensi yang jauh lebih dalam. Filsafat dakwah hadir untuk menjawab pertanyaan mendasar: apa hakikat dakwah, mengapa manusia perlu berdakwah, dan nilai apa yang ingin dicapai. Sementara itu, keilmuan dakwah muncul sebagai disiplin ilmu yang menyusun dakwah menjadi sistematis, terukur, dan relevan dengan realitas sosial.
Kalau diibaratkan, filsafat dakwah adalah kompas yang menentukan arah, sementara keilmuan dakwah adalah peta jalan yang menunjukkan jalur yang bisa ditempuh. Tanpa filsafat, keilmuan dakwah bisa kehilangan ruh dan tujuan. Sebaliknya, tanpa keilmuan, filsafat dakwah bisa berhenti sebagai ide abstrak yang sulit diwujudkan.
Filsafat dakwah membahas dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis: hakikat dakwah, cara mengetahui dakwah, serta tujuan nilai dakwah. Dari sini kita belajar bahwa dakwah bukan hanya ceramah, tetapi bimbingan agar manusia hidup sesuai fitrah. Keilmuan dakwah kemudian menerjemahkan nilai itu ke dalam praktik nyata melalui komunikasi, psikologi, sosiologi, manajemen, hingga teknologi informasi.
Di era digital, hubungan keduanya makin terasa. Banyak dai viral di media sosial. Kalau hanya mengandalkan strategi (keilmuan), dakwah bisa sekadar hiburan tanpa ruh. Kalau hanya mengandalkan filsafat, pesannya mungkin dalam tapi tidak menjangkau audiens luas. Sinergi keduanya lah yang membuat dakwah tetap bernilai sekaligus efektif.
Pada akhirnya, dakwah yang ideal adalah dakwah yang berakar pada filsafat, berlandaskan wahyu, namun juga terbuka terhadap pendekatan ilmiah. Dakwah semacam ini tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga mampu menjawab problem sosial umat di tengah arus globalisasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI