Di tengah denyut nadi pasar tradisional Yogyakarta yang tak pernah padam, terdapat satu sudut yang selalu menarik perhatian pengunjung. Bukan karena gemerlap atau keramaian, melainkan karena segelas minuman sederhana yang memikat sejak tegukan pertama: dawet ireng. Di Pasar Ngasem, keberadaan penjual dawet ireng yang legendaris menjadi bukti bahwa rasa dan tradisi bisa bertahan melawan waktu.
Dawet ireng, atau sering disebut cendol hitam, adalah minuman khas Jawa yang terbuat dari tepung aren atau tepung beras hitam. Warnanya yang gelap berasal dari abu merang (abu jerami padi) yang dicampur dalam adonan, menciptakan warna alami sekaligus rasa yang unik. Disajikan dengan kuah santan kental dan sirup gula merah, minuman ini memberi sensasi segar dan manis yang menyatu sempurna.
Di antara banyak penjual di Pasar Ngasem,sudah tak asing lagi dengan perempuan sepuh ini telah menjajakan dawet ireng sejak lebih dari tiga dekade silam. Dengan gerobak kayu kecil yang tak berubah bentuk sejak dulu, ia setia membuka lapak setiap pagi, sebelum matahari naik tinggi.
"Sudah dari tahun 80-an saya jualan. Dulu masih bawa pikulan, belum ada gerobak," tutur Mbah Suminah dengan logat Jawa yang kental, saat ditemui di sela melayani pembeli. Di balik tubuhnya yang telah dimakan usia, tampak semangat yang tak pernah padam.
Apa yang membuat dagangan Mbah Suminah begitu istimewa bukan hanya karena rasanya, tetapi juga karena proses pembuatannya yang masih sangat tradisional. Setiap pagi buta, ia sudah mulai merebus santan, memanaskan gula merah, dan menyaring adonan dawet yang telah dibuat sejak malam. Tidak ada bahan pengawet atau pemanis buatan; semua dikerjakan dengan tangan dan hati.
"Kalau mau enak ya harus sabar. Masak santannya jangan sampai pecah, adonan dawet juga harus halus," jelasnya sambil tersenyum ramah. Ia percaya bahwa rasa yang baik berasal dari niat baik pula.
Banyak pelanggan tetap yang telah menyukai dawet buatan Mbah Suminah sejak masih muda. Kini, mereka datang sambil membawa anak atau cucu, memperkenalkan rasa manis itu ke generasi berikutnya. Beberapa wisatawan yang sengaja menjelajah kawasan Keraton Yogyakarta atau Tamansari juga kerap mampir karena mendengar cerita tentang dawet ireng legendaris ini dari mulut ke mulut.
Dawet ireng bukan sekadar pelepas dahaga. Ia adalah penanda budaya. Setiap tegukan membawa kenangan tentang masa kecil, tentang desa, tentang suasana pasar tempo dulu. Mbah Suminah, lewat segelas dawet, telah menghidupkan kembali potongan-potongan sejarah itu setiap harinya.
Namun, mempertahankan tradisi di tengah zaman yang terus berubah bukan hal mudah. Mbah Suminah mengaku kini persaingan makin banyak. Banyak minuman modern yang tampak lebih menarik di mata generasi muda. Belum lagi tantangan harga bahan yang naik turun. "Kadang santan mahal, gula juga naik. Tapi saya tetap bikin yang terbaik. Pembeli sudah percaya sama rasa dawet saya," ujarnya.
Keberadaan Mbah Suminah di Pasar Ngasem adalah potret kecil dari perjuangan besar para penjaga kuliner tradisional. Mereka tidak sekadar menjual makanan atau minuman, tapi juga mewariskan nilai-nilai, kesabaran, dan semangat gotong-royong. Mereka adalah saksi bisu dari masa ke masa yang terus mengalir seperti kuah dawet dalam gelas.