Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosok Ibu: Pelajaran tentang Kerendahan Hati dan Semangat Pantang Menyerah

6 Desember 2020   07:54 Diperbarui: 6 Desember 2020   07:58 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu yang mengajarkan anak untuk naik sepeda. Gambar diolah oleh rauschenberger dari Pixabay

Sosok almarhum Ibu begitu fenomenal. Setidaknya bagi kami anak-anaknya. Lahir pada tanggal 12 September 1960. Bila masih hidup sekarang beliau telah berusia 60 tahun. Namun Tuhan berkehendak lain. Tuhan memanggilnya pada usia 56 tahun, tepatnya pada tanggal 21 Maret 2016 melalui penyakit diabetes melitus. Walaupun telah tiada, namun ingatan akan sosok beliau begitu melekat bagi kami berdua anak-anaknya. Kadangkala kerinduan menghinggapi kami. Ingin rasanya bertemu kembali, bercerita tentang hidup, tentang segala keluh kesah, keberhasilan, kegagalan serta kebanggaan. Apalagi sekarang anak-anak sudah membina rumah tangga masing-masing. Disaat-saat seperti ini kami semakin menyadari sosok ibu yang begitu hebat. Menjadi orang tua dan menjalani sosok suami semakin membuat saya mengerti betapa luar biasanya ibu.

Ibu yang mengajarkan keteguhan hati (pantang menyerah)

Ibu adalah seorang guru TK yang mengabdikan diri selama lebih dari 30 tahun. Mengajar anak-anak TK itu tidak mudah. Butuh ketrampilan serta kesabaran ekstra. Mungkin ini juga yang membuat ibu bisa mendidik anak-anak dengan penuh kasih sayang dan kelemahlembutan. Pada usia 52 tahun beliau terpaksa mengambil pensiun dini karena raganya yang sudah tidak kuat mengajar akibat digerogoti penyakit diabetes. Pada saat itu kondisinya memang beliau sudah sulit berjalan. Luka diabetes pada lutut hingga telapak kaki sebelah kanan lah penyebabnya. Setiap hari beliau harus menyuntikkan sendiri insulin ke tubuhnya. Plus obat-obatan yang sekian banyaknya harus ditelannya. Entah bagaimana rasanya. Namun yang pasti beliau tidak pernah mengeluh. 

18 (delapan belas) bulan sebelum meninggal, beliau divonis gagal ginjal sebagai dampak dari komplikasi diabetes. Ini adalah ujian berat bagi keluarga kami. Ibu sempat drop. Tak membayangkan repotnya harus bolak-balik RS untuk cuci darah seminggu dua kali. Tetapi akhirnya kami jalani dengan sepenuh hati. Keteguhan hati ibulah penyebabnya. Beliau bangkit bersemangat kembali. Apalagi waktu itu anak-anaknya belum menikah. Ibu sangat ingin sekali melihat anaknya naik ke pelaminan. Hanya itu keinginan terakhirnya. Meski akhirnya keinginan itu tidak pernah terwujud. Gagal ginjal membuat pasien harus benar-benar dibatasi minumnya. Jadi tidak hanya makan yang dibatasi akibat diabetes, minumnya pun juga. Hanya segelas air putih sehari. Bisakah anda hanya minum air putih segelas dalam sehari? Bagaimana pula bila hari panas terik? Namun lagi-lagi ibu tidak mengeluh.

Beberapa bulan setelah menjalani cuci darah, penglihatan ibu mulai samar hingga akhirnya hilang. Kemudian diketahui bahwa ibu menderita penyakit glukoma. Ombak itu seakan datang bertubi-tubi. Belum selesai satu, sudah datang lagi yang lebih besar. Badan ibu habis, kurus kering seperti tinggal tulang. Sesekali drop karena pikirannya, tetapi mampu bangkit lagi karena semangat dari banyaknya orang yang menyayangi ibu. Oleh karena itu sebenarnya saya merasa berhutang banyak kepada orang-orang yang telah mendukung dan berdoa bagi kesembuhan ibu hingga akhir hayatnya. Dukungan dari bapak ibu sekalian sungguh bermakna bagi keluarga kami.

Ibu sungguh-sungguh mengajarkan semangat pantang menyerah. Dalam kondisi fisiknya yang sudah sangat sulit pun ia tetap tidak ingin merepotkan orang lain. Hal yang bisa ia lakukan sendiri ia lakukan sendiri. Pernah pada suatu malam ketika saya pulang ke rumah (saat itu saya sudah merantau). Kira-kira jam 1 dini hari ibu terbangun tanpa mengucap satu katapun. Saya tidur didekatnya juga terbangun tanpa kata. Hanya memperhatikan apa yang hendak dilakukan oleh ibu.

Sejurus kemudian ia berjalan ngesot (Kondisinya beliau sudah tak dapat berjalan dan tak dapat melihat) menuju ke kamar mandi. Tanpa ia tahu, saya mengikutinya dari belakang. Rupanya ia ingin buang air besar. Saya berjalan, saya menangis sejadi-jadinya karena terenyuh. Terenyuh karena begitu sulitnya hidup yang ibu jalani. Tetapi juga terenyuh melihat semangat serta daya juang ibu yang sangat luar biasa. Ketika sudah selesai dan kembali ke tempat tidur, Ibu tidak langsung tidur. Ia berdoa kepada Tuhan dalam bahasa Jawa seperti seorang anak yang berbincang-bincang kepada orangtuanya. Tak hanya bagi penyakitnya sendiri, ia juga mendoakan anak-anaknya. Ada nama saya disebut. Maka jikalau saya sekarang bisa berdiri itu karena doa yang tulus dari seorang ibu.

Sampai disini sudah terdapat beberapa pelajaran berharga dari sosok ibu:

1. Pantang menyerah

2. Tidak mau menyusahkan orang lain

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun